Read more: Hanya Menampilkan Judul Postingan di Halaman Depan Blog | Mas Bugie [dot] com http://www.masbugie.com/2010/06/hanya-menampilkan-judul-postingan-di.html#ixzz1BoM1DR00

MAJID COLLECTION'S

kaMu cAri apAaa.. ajA di siNi, gaK muNngkin G daPet daH...

KEPADA AKTIFIS MUSLIM



DIEN ITU NASEHAT

Demikianlah Rasulullah saw berpesan untuk kita, dan inilah yang melatarbelakangi tulisan kami dalam lembaran-lembaran berikut. Kami menulis ini bukan karena tidak ada pekerjaan, dan bukan pula karena ada yang mau membacanya. Kami menulis karena kami merasa ada nasehat yang harus kami sampaikan kepada ikhwah, para aktivis, sebagai satu bentuk partisipasi kami dalam ‘perjalanan’ yang diberkati ini. Perjalanan untuk menegakkan dien dan meninggikan panji-panjinya.
Kami, sebagaimana dikatakan oleh sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Rawahah ra, “Kita tidak memerangi manusia dengan bilangan, kekuatan, dan jumlah kita. Kita hanya memerangi mereka karena dien ini. Dien yang Allah memuliakan kita dengannya.”
Oleh karena itu, lazim bagi kita untuk berpegang teguh kepada dien ini melebihi seorang muqatil (tenaga tempur) yang memegang erat senjatanya di tengah kecamuk pertempuran.
Sebab muqatil, kapan pun ia mengendorkan pegangannya, sirnalah harapannya untuk mendapatkan kemenangan, bahkan sirna pulalah segala asanya untuk tetap hidup. Demikian pula halnya dengan ‘ahluddiin’, kapan pun mereka lengah di dalam diennya -meski sesaat- semua citanya untuk menggapai kemenangan akan lenyap.
Sesungguhnya Allah ta’ala hanya menolong orang-orang yang taat, ikhlas, berpegang teguh, dan bertawakkal kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman
وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ
al-Hajj : 40
Maka barang siapa tidak ‘menolong’ Rabb-nya, Dia pun tidak akan menolongnya. Barangsiapa bermaksiat kepada-Nya, Dia akan meninggalkannya, membiarkannya bersama musuh-musuhnya.
‘Umar al-Faruq ra pernah berkata, “Kala kita tidak mampu mengalahkan musuh dengan ketaatan kita niscaya mereka akan mengalahkan kita dengan kekuatan mereka.”
Ternyata ‘Umar ra lebih mengkhawatirkan dosa-dosa pasukannya daripada kekuatan musuhnya. Inilah bukti kesempurnaan pemahaman dan kebrilianan akal beliau.
Betapa kita ~di saat merasakan suasana ini~ ingin agar suasana ini senantiasa hadir di hati dan akal kita, tidak meninggalkan kita selama-lamanya.
Betapa kita ingin mengerti ~dengan ilmu yakin~ bahwa Allah telah menjamin kemenangan dien-Nya dan akan selalu menjaganya .. Maka barangsiapa selalu bersama Islam ke mana pun ia berputar, hati dan anggota badannya senantiasa taat kepada Allah, pastilah Allah akan menolongnya .. Barangsiapa menyimpang dari jalan yang lurus, pertolongan pun akan menjauh darinya.
Allah ta’ala Mahatahu lagi Maha Bijaksana.. Allah Mahatahu. Artinya tidak ada sesuatu pun dari urusan kita yang tersembunyi bagi-Nya. Dia Mahatahu akan batin dan niat kita seperti halnya Dia Mahatahu akan lahir dan amal kita. Dia Maha Bijaksana. Artinya Dia akan selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Dia tidak akan memberikan anugerah berupa penjagaan dan pertolongan kepada siapa yang tidak berhak mendapatkannya.. Dan orang yang tidak berhak atas anugerah ini, sungguh tiada bagian untuknya selain keterpurukan.. Na’udzu billah, kita memohon perlindungan kepada Allah dari kehinaan di hadapan-Nya.
Nafsu terus memberontak, setan terus menggoda, dunia terus berhias, dan hawa sering sekali memenangkan pertempuran.
Mereka semua telah hadir. Mereka ingin menghalangi antara seorang hamba dengan kemenangan dan kejayaannya di dunia dan di akhirat.
Mereka berempat benar-benar musuh utama kita. Jika kita mampu menguasainya (nafsu, setan, dunia, dan hawa) niscaya akan lebih mudah bagi kita untuk menguasai musuh-musuh kita dari kalangan manusia..
Sebaliknya, jika kita dikuasai oleh keempatnya, sungguh antara kita dan musuh-musuh kita tiada lagi bedanya, sama-sama bermaksiat kepada Allah .. sementara mereka masih memiliki sesuatu yang lain; kekuatan yang lebih daripada yang kita miliki.. dan jika sudah demikian, kita akan kalah menghadapi mereka.
Kalimat-kalimat yang kami tulis di sini merupakan nasehat untuk membantu di dalam usaha mengalahkan nafsu, setan, dunia, dan hawa..
Wahai saudaraku, yang kami inginkan hanyalah menunjukkan yang baik ... untuk menutup satu celah yang kami lihat... atau menambahkan yang kurang... atau menunjukkan yang makruf.
Peran kami adalah ... berkata-kata dan memberi nasehat.
Celah tidak akan pernah tertutup, kekurangan tidak akan pernah hilang, dan yang makruf tidak akan pernah terwujud… kecuali dengan amal.
Di sinilah peranmu wahai saudaraku, peran kita semua.
Tentu saja, kata-kata bukan sekedar untuk diucapkan, tetapi ia untuk dipahami ... dan diamalkan.
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللهُُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَسَتُرَدُّوْنَ إِلَى عَالم الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
at-Taubah : 105

KEPEDIHAN SIRNA PAHALA TERSISA
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahmati Anda- sungguh Anda akan menemui masa-masa yang sulit, masa-masa yang melelahkan, dan berbagai ujian, padahal Anda tengah berjalan di atas jalan kebenaran dan disibukkan oleh berbagai aktivitas dalam Islam. Apabila Anda teguh di atas kebenaran dan sabar menghadapi berbagai ujian, niscaya kepedihan akan sirna, kelelahan akan hilang, dan yang tersisa bagi Anda adalah ganjaran dan pahala insya Allah.
Tidakkah Anda lihat, seseorang yang menunaikan shiyam di hari yang sangat panas, bukankah lapar dan dahaganya sirna seketika saat setetes air melewati kerongkongannya seraya mengucapkan doa yang diajarkan oleh Nabi saw
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Telah sirna haus dahaga, telah basah kerongkongan, dan telah tetap pahala insya Allah.”
Begitu pun bersamaan dengan langkah pertama Anda di dalam surga akan hilang segala kelelahan yang pernah Anda rasakan, segala keresahan yang menimpa Anda, dan segala luka yang Anda dapatkan di jalan Allah. Akan dikatakan kepada Anda, “Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak mengenakkan?” Lalu Anda menjawab -setelah Anda merasakan sekejap saja nikmatnya surga, “Demi Allah, tidak wahai Rabbi! Aku tidak melihat sesuatu pun yang tidak mengenakkan.”
Kelelahan dan kepedihan Anda telah usai. Semuanya telah berubah menjadi kegembiraan, kesejahteraan, dan kesenangan. Ganjaran dan pahala telah nyata bagi Anda, dan Allah akan menambahkan lagi dari karunia-Nya. Juga, Dia akan memuliakan Anda dengan kemuliaan sesuai dengan kemuliaan dan kepemurahan-Nya. Di saat itulah Anda akan berandai-andai jika saja usaha Anda di jalan dien ini lebih banyak dan lebih banyak lagi. Jika saja bangun Anda di waktu malam karena Allah lebih dan lebih banyak lagi. Jika saja kepergian Anda menjauhi dunia lebih banyak lagi. Jika saja pengorbanan Anda di jalan Allah ini lebih dan lebih. Bahkan Anda berandai-andai -seperti seorang syahid-, andaisaja Anda dikembalikan ke dunia dan terbunuh di jalan Allah, lalu dihidupkan, lalu terbunuh, lalu dihidupkan, lalu terbunuh lagi, disebabkan Anda telah menyaksikan karunia dan kemuliaan yang dianugerahkan oleh Allah kepada para syuhada.

SUPAYA TEGAR MENGHADAPI UJIAN
Mungkin akan ada yang bertanya, “Saya adalah seorang yang baru saja serius dalam berislam. Saya takut saya tidak bisa tegar dalam menghadapi berbagai cobaan, atau tidak sabar menghadapinya.”
Untuknya saya katakan, “Nabi saw berabda, ‘Barangsiapa yang berusaha untuk bersabar niscaya Allah akan menjadikannya sabar.’ Juga, ‘Barangsiapa berusaha untuk selalu mengerjakan kebaikan niscaya Dia akan memberikannya, dan barangsiapa menjaga diri dari keburukan niscaya Dia akan menjaganya.”
Dus, siapa saja yang mengusahakan faktor-faktor kesabaran, niscaya Allah akan merizkikan sabar kepadanya. Dan barangsiapa mengusahakan faktor-faktor wahn, gelisah, dan kehinaan, niscaya Dia akan tertimpa sesuatu yang faktor-faktornya telah diusahakannya.
وَمَا ظَلَمَهُمُ اللهُ وَلَكِنْ كَانُوْا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
an-Nahl : 33
Untuk itu wahai saudaraku seislam, berusahalah untuk bersabar. Sabarkanlah diri Anda untuk masa tertentu, niscaya Anda akan mendapati diri Anda dalam keadaan sabar setelahnya. Bahkan bisa jadi telah menjadi pribadi yang ridla, insya Allah. Salah seorang salaf berkata, “Aku giring diriku kepada Allah dalam keadaan menangis. Aku terus menggiringnya sampai ia kembali kepadaku dalam keadaan tertawa.”
Adapun jika hal-hal yang melelahkan Anda semakin menghebat, ujian semakin bertambah, musibah semakin dahsyat, dan nafsu ammarah bis suu’ berbisik supaya Anda cenderung kepada dunia -meski sesaat- atau Anda dapati nafsu ammarah bis suu’ itu menyesatkan diri Anda, maka berusahalah terus untuk membinanya sampai ia benar-benar tunduk kepada Anda, menyerahkan semua urusannya kepada Anda, dan menjawab seruan dari Allah dalam keadaan ridla setelah sebelumnya ia membencinya ..
Jika Anda mulai menginginkan dunia katakan kepada diri Anda sendiri, “Wahai diri, sungguh kamu telah menghabiskan separuh lebih dari perjalananmu menuju Allah... sisanya hanyalah tinggal sedikit saja.... karenanya, bersabarlah di atasnya. Wahai diri... janganlah kamu sia-siakan amal shalih yang telah kau kerjakan, juga bangunmu di waktu malam dan siang, juga kelelahanmu selama bertahun-tahun di jalan Allah.. dalam masa yang hanya sebentar ini. Hanyasanya kesabaran ini tidak akan lama... Bersabarlah. Sesungguhnya kedudukan cobaan itu seperti tamu, ia pasti akan segera berlalu... Nikmat sekali memujinya di ruangan perjamuan di hadapan tuan rumah. Wahai kaki-kaki penopang kesabaran teruslah bergerak. Sungguh, tiada yang tersisa kecuali sedikit saja...”
Terhadap nafsunya seorang aktivis mestinya melakukan hal yang dilakukan oleh Bisyr al-Hafiy bersama salah seorang muridnya yang turut serta dalam salah satu safarnya. Saat itu si murid dilanda dahaga dalam perjalanannya. Ia minta kepada Bisyr, “Mari kita minum air sumur itu!” Bisyr menjawab, “Bersabarlah, sampai kita bertemu dengan sumur yang lain.” Lalu ketika keduanya telah sampai ke sumur berikutnya, Bisyr berkata lagi, “Sampai sumur berikutnya.” Begitulah, Bisyr terus mengatakan untuk bersabar sampai sumur berikutnya.... dan akhirnya ia katakan, “Demikianlah dunia itu akhirnya akan terhenti.”
Ibnu al-Jauziy berkata, “Inilah... fajar pahala mulai menjelang ... malam cobaan mulai menghilang.. sang pejalan disambut dengan pujian, hampir menuntaskan gulitanya malam... Matahari pahala tiada sedikit pun menghadirkan bayang-bayang hingga sang pejalan telah sampai ke rumah keselamatan.”
Ada satu ungkapan dari Imam Ahmad yang sungguh sangat membuat saya terkagum-kagum. Ungkapan pendek yang membutuhkan tadabbur dan tafakkur yang panjang. Berulang-ulang beliau katakan, “Hanyasanya itu adalah makanan yang bukan makanan, minuman yang bukan minuman. Hanyasanya itu adalah hari-hari yang sedikit.”
Lalu, bersama nafsunya seorang aktivis harus itu merenung sejenak, dan berbicara kepadanya, “Tidakkah kau lihat, ahli dunia itu ditimpa musibah dan cobaan berlipat-lipat daripada musibah yang menimpamu. Padahal mereka tidak mendapatkan pahala untuk itu dan tidak pula diberi rizki oleh Allah yang berupa kesabaran. Dikala tertimpa musibah, kebanyakan mereka berada dalam kesempitan, kesusahan, kegelisahan, kegundahan, dan bahkan menjadi gila karena musibah itu... Pernahkah kau dengar ada sebuah mobil berisi satu keluarga lengkap yang tenggelam dan semua yang ada di dalamnya meninggal dunia? Bandingkan musibah yang menimpamu dengan musibah yang menimpa mereka! Sesungguhnya puncak musibah yang menimpamu adalah ... kamu dibunuh oleh musuh-musuhmu. Dan itu bukan musibah! Bukan! Itu adalah kemuliaan bagimu, dan bahkan itulah kehidupan yang paling berharga, paling mahal. Sesudah itu kamu tiada lagi merasakan derita atau pun luka. Ya... sebutir atau beberapa butir peluru yang menembus jasadmu... dan tiada rasa bagimu melainkan serasa dicubit, seperti dikatakan oleh Rasulullah saw
Kemudian bertanyalah kepada nafsu, “Apa lagi yang bisa dilakukan oleh musuhmu kepadamu?! Memenjarakanmu sebulan, dua bulan, setahun, bertahun-tahun, atau bahkan seumur hidupmu? Sungguh adalah menjadi kemuliaan bagimu dengan dapat menghabiskan umurmu di jalan Allah. Adalah menjadi suatu kemuliaan bagimu dengan mengikuti jejak Yusuf as yang dipenjarakan selama beberapa tahun!”
Katakan juga kepada nafsu ammarah bis suu’ yang ada padamu, “Wahai nafsu, tidakkah kau lihat ribuan orang menjadi penghuni hotel prodeo karena bermaksiat kepada Allah?! Cukuplah menjadi suatu kemuliaan bagimu bahwa kamu ditimpa ujian karena ketaatanmu kepada Allah ‘azza wa jalla. Ada di antara mereka yang divonis hukuman mati karena memenuhi syahwat sesaat, memperkosa seorang gadis. Ada juga yang dipenjara seumur hidup karena memenuhi seruan setan, terperosok dalam dunia narkoba. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Lalu pikirkan juga tentang ribuan pecinta dunia dan orang-orang kafir yang ditimpa musibah berupa cacat tetap (invalid) atau buta. Mereka semua jauh lebih menderita dibandingkan dengan dirimu. Musibah yang menimpa mereka beratus kali lipat jika dibandingkan dengan yang menimpa dirimu. Belum lagi jika beberapa bulan atau tahun ini justru menjadi sebab dari keberhasilanmu mencapai imamah fiddien, menggapai ma’rifatullah dan perintah-Nya, serta sampainya dirimu ke derajat ‘abidin (ahli ibadah), zahidin (orang-orang yang zuhud), dan khasyi’in (orang-orang yang khusyu’). Berapa banyak ikhwah yang baru merasakan hakekat bangun malam di kala kondisi benar-benar berat. Berapa banyak mereka yang baru memahami dan mengerti maksud dari ayat-ayat tertentu dan kedalaman hikmah yang ada di dalamnya pada kondisi yang berat pula, disamping dapat menghapal dan mengkaji tafsirnya. Semuanya masih ditambah dengan pencapaian terhadap satu derajat ilmiah yang tidak dapat dipelajari dari buku-buku dan literatur yang ada serta pemahaman terhadap makna-makna yang rasa manisnya tiada pernah dapat dikecap meski teks-teksnya dibaca, dikaji, atau pun dihapal. Itu seperti makna tawakkal, inabah, khasyyah, taubat, yaqin, dan ridla. Semoga Allah senantiasa merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berkata, “Aku, surga dan tamanku ada di dalam dadaku, ke mana pun aku pergi ia selalu bersamaku, tidak meninggalkanku. Jika aku dipenjara, bagiku itu adalah khalwah. Jika aku dibunuh, bagiku itu adalah syahadah. Dan jika aku diusir dari negeriku, bagiku itu adalah siyahah, jalan-jalan.”
Hendaknya seorang aktivis mengucapkan perkataan Ibnul Jauziy yang mengadu kepada Rabbnya, “Betapa beruntungnya diriku atas apa yang direnggut dariku, ketika buahnya adalah aku bersimpuh di hadapan-Mu. Betapa lapangnya penawananku kala buahnya adalah aku berkhalwah dengan-Mu. Betapa kayanya diriku ketika aku faqir kepada-Mu. Betapa lembutnya diriku kala Engkau jadikan ciptaan-Mu berlaku zhalim kepadaku. Ah.. sia-sialah masa yang hilang bukan dalam rangka berkhidmah kepada-Mu, begitu pun waktu yang berlalu bukan dalam ketaatan kepada-Mu. Kala aku bangun menjelang fajar, tidurku sepanjang malam tidak lagi menyiksa diriku. Kala siang beranjak lepas, hilangnya seluruh hari itu tidak lagi melukaiku. Aku tidak tahu bahwa diriku yang mati rasa ini dikarenakan sakit yang dahsyat. Kini, hembusan angin kesejahteraan telah bertiup, aku telah dapat merasakan derita, dan aku tahu diriku kini sehat. Wahai Dzat yang Mahaagung anugerahnya, sempurnakanlah kesejahteraan bagi diriku.”

SERAHKAN PERNIAGAAN KEPADA YANG BERHAK
Anda telah menjual diri Anda kepada Allah ‘azza wa jalla. Di hadapan Anda tidak ada pilihan lain selain menyerahkan apa yang telah Anda jual kepada yang telah membelinya.
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
at-Taubah : 111
Apabila pembeli telah menerima barang yang dijual maka dia berhak berbuat sesukanya dan menempatkannya sesukanya. Jika dia ingin, dia bisa meletakkannya di istana, bisa juga dia meletakkannya di penjara. Jika dia ingin dia bisa memakaikan baju terindah kepadanya, bisa juga dia menjadikannya telanjang kecuali kain yang menutupi auratnya. Jika dia ingin dia bisa menjadikannya kaya, bisa juga dia menjadikannya fakir papa. Jika dia ingin dia bisa memanjangkan umurnya, bisa juga dia menggantungnya pada tiang gantungan, atau dikuasakan atasnya musuhnya lalu musuh itu membunuhnya, atau mencincangnya.
Apakah baik jika seorang yang telah menjual seekor kambing lalu ia marah kepada orang yang telah membelinya, di saat orang itu menyembelihnya. Pantaskah jika hatinya gundah karenanya?!
Belum pernahkah Anda dengar tentang singa Allah dan singa Rasul-Nya, Hamzah bin ‘Abdulmuthallib ra? Perutnya telah dirobek. Hatinya telah dikeluarkan. Dan ia pun dicincang. Demikian pula halnya dengan para sahabat Nabi saw yang menjadi syuhada’ dalam perang Uhud. Perut mereka dirobek, hidung dan telinga mereka diiris, bahkan Hindun binti ‘Utbah dan wanita-wanita Quraisy yang hadir bersamanya menjadikan hidung dan telinga para sahabat sebagai kalung dan gelang bagi mereka. Hindun binti ‘Utbah telah menyerahkan gelang kaki, kalung, dan perhiasannya kepada Wahsyi, sang pembunuh Hamzah ... sebagai balasan atas apa yang telah dilakukannya.
Atau bahkan, belum pernahkan Anda dengar apa yang menimpa Rasulullah saw saat perang Uhud?! Pipi dan wajah mulia beliau terluka. Sebiji gigi depan beliau pecah. Dan beliau saw hidup dari satu cobaan kepada cobaan yang lainnya. Benarlah perkataan Ibnu al-Jauziy, “Bukankah Rasul saw pun perlu untuk mengucapkan, ‘Siapa yang mau melindungiku? Siapa yang mau menolongku?’ Bukankah beliau perlu untuk memasuki kota Mekah ditemani seorang kafir, bukankah beliau menyarungkan senjata dan menyimpannya di balik punggung, bukankah sahabat-sahabat beliau banyak yang terbunuh, bukankah beliau dilecehkan oleh orang-orang yang baru masuk Islam, bukankah beliau pernah mengalami kelaparan, dan beliau tetap teguh, tetap bergeming?… Lalu beliau pernah merasakan beratnya kelaparan, sampai-sampai beliau mengambil batu dan mengikatnya di perut? Padahal Allah adalah pemilik pintu-pintu langit dan bumi?.. Bukankah sahabat-sahabat beliau terbunuh, wajah beliau terluka, gigi depan beliau pecah, paman beliau dicincang, dan beliau tetap diam? Lalu beliau diberi rizki anak laki-laki, namun tak berselang lama anak kesayangan itu direnggut dari beliau? Lalu terhibur dengan Hasan dan Husen, tetapi segera diberitahu tentang apa yang akan menimpa keduanya. Beliau sangat menyayangi Aisyah ra, lalu diguncanglah kehidupannya dengan kabar tuduhan zina. Beliau berusaha menampakkan mukjizat, namun dihadang oleh Musailamah, al-‘Insiy, dan Ibnu Shayyad. Datang kepada beliau Jibril yang terpercaya, namun kaumnya mengatakan, tukang sihir yang pendusta. Lalu dijadikanlah beliau merasakan sakit seperti yang dirasakan oleh dua orang, dan beliau tetap diam…tenang. Jika dikabarkan tentang keadaannya, beliau pun mengajarkan kesabaran. Lalu kematian datang, ruh beliau yang mulia terangkat, sementara jasad terbujur di atas kain usang dan sarung yang kasar… keluarga beliau tidak memiliki minyak untuk menyalakan lampu … walau untuk malam itu saja.”
Saudaraku, cobalah untuk merenungkan kehidupan para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia-manusia pilihan. Merekalah yang paling mulia di sisi Pencipta dan paling dicintai oleh-Nya. Meski begitu, Ibrahim telah dilempar ke dalam api, Zakariya telah digergaji, Yahya telah disembelih, Ayyub berada dalam ujian bertahun-tahun yang membinasakan harta dan anak-anaknya, Yunus terpenjara dalam perut ikan paus, Yusuf diremehkan dan dijual dengan harga murah, lalu menetap di penjara beberapa tahun. Semua itu, mereka ridla terhadap takdir Allah, ridla terhadap-Nya, Pelindung mereka yang sebenarnya.
Sebagian salaf ada yang berkata, “Dibelah tubuhku lebih aku sukai daripada aku katakan untuk sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah, ‘Seandainya itu tidak terjadi.’”
Ada juga yang mengatakan, “Aku telah melakukan perbuatan dosa, aku tangisi dosa itu sejak 30 tahun yang lalu.” Ia adalah seorang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Seseorang bertanya, “Apa dosa itu?” ia menjawab, “Sekali aku mengucapkan untuk sesuatu yang telah terjadi, ‘Seandainya itu tidak terjadi.’”
Wahai saudaraku, jadilah Anda menjadi bagian dari mereka-mereka yang aktivitas mereka tidak bertentangan dengan apa yang telah Allah lakukan, mereka yang pilihannya tidak berseberangan dengan pilihan Allah. Mereka tidak pernah mengucapkan, “Seandainya ini begini pasti begini.” atau “Semoga saja ..”, meski hanya sekali.
Apa yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya yang beriman adalah pilihan yang terbaik, meski tampaknya sulit, berat, atau memerlukan pengorbanan harta, kedudukan, jabatan, keluarga, anak, atau bahkan lenyapnya dunia seisinya.
Cobalah mengingat kembali kisah perang Badar. Pikirkan baik-baik! Sebenarnya sebagian sahabat pada waktu itu lebih menyukai mendapatkan harta perniagaan , namun Allah memilihkan bagi mereka pilihan yang jauh lebih baik dan lebih utama daripada pilihan mereka.. Allah pilihkan bagi mereka pertempuran!
Perbedaan antara harta perniagaan dan pertempuran ini bagaikan perbedaan antara bumi dan langit. Apatah nilai harta perniagaan?! Makanan yang dikunyah lalu masuk ke jamban, pakaian yang akhirnya compang-comping dan dibuang, serta dunia yang hanya sesaat. Sedangkan pertempuran, bersamanya ada furqan yang dengannya Allah membedakan kebenaran dan kebatilan. Bersamanya ada kehancuran syirik dan keruntuhannya, serta tingginya tauhid dan kejayaannya. Bersamanya ada penumpasan tokoh-tokoh musyrik yang sebelumnya senantiasa menempatkan batu sandungan di jalan Islam, dien yang lahir di jazirah Arab, dst.. dst…
Cukup pula kiranya bersamanya, “Sesungguhnya Allah telah mencermati para tentara perang Badar, lalau berfirman, ‘Kerjakanlah yang kalian mau karena sungguh Aku telah mengampuni kalian.’”
Mahabenar Allah ta’ala yang telah berfirman,
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللهُ إِحْدَى الطَّآئِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللهُ أَن يُّحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
al-Anfal : 7
Sebelum pembicaraan tentang poin ini saya akhiri, saya ingin memaparkan makna kalimat yang ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, dengan sedikit perubahan, “Sesungguhnya jika Allah menahanmu dari mendapatkan sesuatu, itu bukanlah karena Dia bakhil, khawatir kehilangan perbendaharaan-Nya, atau menyembunyikan hakmu. Akan tetapi itu adalah karena Dia ingin kamu kembali kepada-Nya, Dia ingin memuliakanmu dengan tunduk-pasrah kepada-Nya, menjadikanmu kaya dengan faqir kepada-Nya, memaksamu untuk bersimpuh di hadapan-Nya, menjadikanmu dapat merasakan manisnya ketundukan dan kefakiran kepada-Nya setelah merasakan pahitnya terhalang dari sesuatu. Supaya kamu memakai perhiasan ‘ubudiyyah, menempatkanmu di kedudukan yang tertinggi setelah kedudukanmu dicopot, supaya kamu dapat menyaksikan hikmah-Nya dalam qudrah-Nya, rahmat-Nya dalam keperkasaan-Nya, kebaikan dan kelembutan-Nya dalam paksaan-Nya, dan bahwa sebenarnya tidak memberinya adalah pemberian, pencopotan dari-Nya adalah penguasaan, hukuman dari-Nya adalah pengajaran, ujian dari-Nya adalah pemberian dan kecintaan, dikuasakannya musuh-musuhmu atasmu adalah yang akan menggiringmu kepadaNya.”
Siapa-siapa yang tidak memahami ini semua dengan hati dan akalnya serta beramal dengannya, sungguh ia memang tidak dapat menerima pemberian dan tidak membawa bejana. Orang yang datang tanpa membawa wadah, akan pulang dengan tangan hampa. Dan jika demikian, janganlah ia mencela selain mencela dirinya sendiri.

KETEGUHANMU DAPAT MENGALAHKAN TIPU DAYA MUSUH
Musuh-musuh Islam tidak lagi mendapati alasan untuk membenarkan kebatilan mereka. Karenanya reaksi mereka atas seruan kebenaran adalah melancarkan berbagai siksaan dan adzab kepada mereka yang memperjuangkan kebenaran. Mereka tidak mendapati reaksi lain yang lebih baik dari hal itu. Mereka selalu mengambil langkah ini manakala mereka kehabisan cara untuk menolak kebenaran.
Dengan reaksi ini pulalah Fir’aun menyambut seruan Musa
قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلاَهًا غَيْرِي لأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
as-Syu’ara’ : 29
Juga kepada bekas tukang sihirnya yang telah beriman
لأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُم مِّنْ خِلاَفٍ وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ
as-Syu’ara’ : 49
Dengan reaksi yang sama pula kaum Ibrahim as menjawab seruannya
حَرِّقُوهُ وَانصُرُوا ءَالِهَتِكُمْ
al-Anbiya’ : 68
Begitu juga reaksi yang diberikan kepada Yusuf as
ثُمَّ بَدَا لَهُم مِّن بَعْدِ مَارَأَوُا اْلأَيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ
Yusuf : 35
Demikian pula reaksi Umayyah bin Khalaf terhadap Bilal bin Rabah manakala ia terus menggumamkan kata ‘Ahad… Ahad…’, dari sanubarinya. Umayyah menyiksa dan mencambukinya di bawah terik matahari kota Mekah, lalu meletakkan batu besar di atas perutnya.
Sama halnya dengan ‘Ammar, Mush’ab, Khabbab, Ibnu Mas’ud, as-Shidiq Abu Bakar, dan bahkan Rasulullah saw.
Juga, Imam Ahmad bin Hambal. Ketika beliau menolak untuk menyatakan bahwa al-Qur`an itu makhluk, dengan segera pukulan, cambuk, penjara dan siksaan datang bertubi-tubi.
Pun demikian dengan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Begitulah orang-orang fasiq, orang-orang kafir, dan orang-orang yang murtad, selalu menyambut para da’i kepada Allah dan para aktivis yang meng’azamkan tegaknya dien di zaman ini dengan reaksi yang sama.
Inilah sambutan dari musuh-musuh Islam....akhir dari tipu daya mereka....akhir dari anak panah yang mereka miliki. Inilah hal terbaik yang dapat mereka lakukan untuk mempertahankan kebatilan dan kesekuleran mereka.
Karenanya, jika mereka telah menyambut kalian dengan reaksi seperti itu, lalu kalian tetap kokoh di atas kebenaran dan sabar menghadapi cobaan... sungguh itu telah menghancurkan seluruh rencana yang telah mereka persiapkan sebelumnya, juga memupus tipu daya mentah-mentah, serta menggagalkan upaya mereka untuk mengatur dan melancarkan berbagai makar.
Sesungguhnya keteguhan, kesabaran, dan komitmen kalian kepada Allah ‘azza wa jalla termasuk faktor kemenangan bagi Islam dan kegagalan bagi musuh-musuhnya.
Lihatlah bagaimana keadaan musuh yang menyadari bahwa anak panah mereka telah patah, usaha mereka telah sia-sia, upaya yang mereka adakan telah gagal, berlalu bagaikan angin yang berhembus, dan tipu daya mereka telah sirna begitu saja?!
Bagaimanakah keadaan mereka, jika mereka tahu bahwa berbagai tindak intimidasi yang mereka lancarkan hanya akan menambah kekuatan, keikhlasan, dan keteguhan bagi kita? Setiap kali mereka menambah intensitas siksaan dan adzab kepada ahlulhaq setiap kali itu pula lahir generasi yang lebih kuat, lebih kokoh, lebih bijak, dan lebih berakal. Generasi yang terbina untuk selalu melaksanakan perintah pada ‘azimah (hukum asal), dan bukan rukhsah (keringanan), serta mengambil sedikit saja dari yang mubah.
Generasi yang telah menceraikan dunia dengan talak bain, tiada kesempatan baginya untuk kembali kepadanya.
Sehubungan dengan ini ada ungkapan yang indah dari seorang aktivis yang membuat saya tertegun. Katanya begini, “Apa gerangan yang terjadi manakala musuh-musuh kita tahu bahwa tipu daya mereka tidak melemahkan hati kita tetapi malah menguatkannya, tidak memupus cita dan asa kita tetapi malah mengukuhkannya, dan tidak menurunkan semangat kita, tetapi malah meninggikannya... Bagaimana keadaan mereka, jika mereka tahu bahwa kita semakin dekat kepada Allah manakala kesulitan dan cobaan semakin berat. Ya, setiap kali ujian semakin menggila dan upaya musuh semakin membabi buta setiap kali itu pula kalbu bersujud di hadapan Rabbnya dan ber’azam untuk terus melanjutkan asanya tanpa sedikit pun melemah. Juga senantiasa memohon kepada Pelindungnya agar memurnikannya dari segala yang dibenci-Nya dan selalu menjaganya. Bagaimana kira-kira kejengkelan mereka manakala mereka tahu bahwa mereka telah menjadi kendaraan untuk menyelesaikan target tertentu. Target pembersihan dan penjernihan. Lalu apa manfaat dari kejengkelan mereka itu?!”
قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ
Ali ‘Imran : 119
وَلَن يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
An-Nisa` : 141
Sesungguhnya keteguhan kalian di atas kebenaran, dan kesabaran kalian dalam menghadapi ujian, memberikan jaminan akan kehancuran musuh-musuh Islam, bukan hanya dari sisi teori dan konsep saja. Keteguhan dan kesabaran akan menghancurkan mereka; eksistensi, institusi dan konstitusi sekaligus.
Sesungguhnya kesabaran dan keteguhan sekelompok kecil orang-orang yang beriman dengan sebenarnya dari kalangan ahlulhaq menjadi jaminan akan kehancuran pemerintahan sekuler dari dasarnya sehingga jungkir balik. Itu terjadi setelah kehancuran pemikirannya, konsep-konsepnya dan dasar-dasarnya.
Bukankah keteguhan Abu Bakar as-Shiddiq dan kesabarannya ketika terjadi harakaturriddah, gerakan murtad massal merupakan faktor utama dari lenyapnya fitnah kemurtadan itu? Fitnah yang menimpa seluruh jazirah Arab terkecuali tiga kota saja; Mekah, Madinah dan Jawatsa di Bahrain..
Kini kita sering mendengar ungkapan, “Kemurtadan di mana-mana namun tiada lagi Abu Bakar untuk menanggulanginya.”
Bahkan keteguhan yang menakjubkan dari Abu Bakar ra dalam situasi yang sulit inilah yang menggoncangkan singgasana orang-orang murtad dan meruntuhkannya, meski mereka memiliki perbekalan dan pengikut yang lebih dari cukup dan pasukan yang benar-benar pemberani.
Dalam pada ini Abu Hurairah ~siapa yang tak kenal Abu Hurairah~ dengan kesadaran penuh atas apa yang diucapkan mengatakan, “Demi Allah yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia, kalau saja bukan Abu Bakar yang diangkat menjadi khalifah, niscaya Allah tidak lagi disembah!” Mereka yang mendengar mengatakan, “Jangan begitu, wahai Abu Hurairah!”
Bukankah keteguhan dan kesabaran Imam Ahmad bin Hambal kala dipenjara, disiksa, dan dicambuki menghadapi fitnah khalqul Qur`an yang menyelimuti seluruh kaum muslimin saat itu dan hampir-hampir merubah aqidah as-salafus shalih yang menjadi faktor penghancur utama kedustaan itu, sirnanya keburukannya, dan pembatal tipu daya para penganutnya? Siapakah para penganut itu? Tiada lain adalah para penguasa, para pejabat, para menteri, dan orang-orang yang setia kepada mereka.
Ketegaran sang Imamlah yang telah memberikan pengaruh yang besar dalam penulisan keberlangsungan aqidah ummat, setelah nyaris dieksekusi oleh tangan-tangan orang-orang sesat, para ahli bid’ah. Ketika sang Imam mendatangi Mu’tashim yang selanjutnya beliau diuji tentang khalqul Qur`an, seseorang berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin telah bersumpah untuk tidak membunuhmu dengan sabetan pedang, hanyasaja kau akan menghadapi cambukan demi cambukan..”
Pada hari ketiga, Mu’tashim mendatangi beliau seorang diri. Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat mencintai sang Imam sebagaimana ia mencintai Harun, anaknya. Namun, Imam Ahmad tetap bergeming dengan jawabannya sejak semula. Tidak sedikit pun beliau mencabut kata-kata itu. Mu’tashim murka seraya berkata, “Terlaknat kamu, aku sudah bersusah payah mendatangimu! Ambil ia!”
Maka Mu’tashim memerintahkan bala tentaranya untuk melucuti pakaian sang Imam selain kain sarungnya, lalu merantainya, dan mencambukinya. Kabarnya, jumlah algojo yang ditugaskan untuk mencambuk beliau banyak sekali. Mereka bergantian dalam melaksanakan eksekusi ini. Salah seorang dari mereka pernah mengejek beliau sambil bertopang pada pangkal pedangnya ia berkata, “Apakah Anda hendak mengalahkan mereka semuanya?”
Setiap hari mereka mencambuki sang Imam sampai beliau pingsan.
Demikian mereka lakukan terus-menerus.
Cambukan para algojo ini telah meninggalkan bekas yang tak terbayangkan pada tubuh renta sang Imam. Seseorang yang pernah datang untuk mengobati luka-luka yang ditimbulkan oleh cambukan itu berkata, “Demi Allah, aku telah melihat bekas seribu cambukan! Belum pernah aku saksikan bekas cambukan sehebat ini!”
Bekas cambukan itu tetap menghiasi punggung sang Imam sampai akhir hayat beliau..
Di antara sekian peristiwa yang dijalani oleh Imam Ahmad, yang paling menakjubkan adalah bahwa satu-satunya perkara yang beliau khawatirkan saat itu adalah terlukarnya sirwal (celana bertali) dan terlihatnya aurat beliau di saat beliau menerima siksaan di hadapan khalayak yang menyaksikan prosesi penyiksaan. Adalah beliau banyak-banyak berdoa, memohon supaya auratnya tidak tersingkap. Dan Allah mengabulkan permohonan sang imam!
Kisah ini meskipun singkat telah banyak memberikan dampak positif bagi saya dan sekian ikhwah yang telah melewati masa ujian yang dalam beberapa bagiannya mirip dengan yang dialami oleh Imam Ahmad. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Semoga atas jasanya yang besar terhadap islam, Allah membalasnya dengan balasan yang baik.

SIAPA BERSANTAI SAAT BEKERJA AKAN MENYESAL SAAT PEMBAGIAN UPAH

Sebagian kita benar-benar telah menyaksikan bagaimana orang-orang zhalim mengintimidasi orang-orang yang beriman di negeri Islam. Mereka melihat betapa polisi, tentara, para algojo, dan orang-orang yang zhalim itu menahan kaum muslimin. Tiada hari berlalu melainkan mereka menahan puluhan bahkan ratusan kaum muslimin. Bahkan para eksekutor itu tidak melewatkan satu malam pun tanpa menyiksa kaum muslimin sejak sekian lama; mereka tidak peduli lagi kepada anak-anak, wanita, orang tua, atau pun pemuda. Siapapun akan mendapatkan bagian terpaan siksa.
Selama tahun-tahun itu banyak akhawat yang dipaksa menggugurkan kandungannya, dipukuli, dan dibiarkan tidur di atas bebatuan di malam musim dingin. Balita pun mendapatkan siksa yang berat, bahkan mereka dibiarkan beberapa hari tanpa makanan.
Bertahun-tahun ikhwah melewati hari raya Idul Fithri antara rumah tahanan, penjara, pengasingan, orang-orang yang terbunuh, dan orang-orang yang terluka. Mereka, keluarga mereka, bapak-baoak mereka, ibu-ibu mereka, anak-anak mereka, dan istri-istri mereka tidak sedikit pun merasakan kegembiraan di hari raya...
Sebagian kita telah menyaksikan hal itu dan juga kejadian-kejadian lain yang terjadi di sekitar mereka, lalu setan menyusup ke dalam jiwa, menghembuskan rasa was-was supaya mereka mencela hikmah di balik takdir. Setan berkata, “Bagaimana bisa Allah membiarkan musuh-musuh-Nya dan para algojo mereka semakin bertambah kuat dari hari ke hari, bertambah canggih alat-alat yang mereka miliki dalam menghadapi orang-orang yang beriman? Mengapa mereka dibiarkan bertambah kokoh dari masa ke masa, mereka merajalela di berbagai penjuru negeri. Mereka memerintah semau mereka sendiri. Bagaimana para pengikut mereka tunduk kepada mereka? Lalu, bagaimana keadaan kalian wahai wali-wali Allah? Kalian tergeletak di atas bebatuan yang bagai salju di musim dingin dan bagai bara di musim panas. Kalian tidak mendapati makanan, minuman, pakaian, selimut, dan bahkan udara yang mencukupi nafas kalian. Ini adalah suatu kenyataan yang tidak akan diyakini kecuali oleh orang-orang yang hidup di tempat seperti ini. bagaimana juga para penguasa sekuler bergelimang kenikmatan, kelezatan, naungan yang nyaman, sedangkan mereka dalam kekuatan penuh untuk menguasai dunia? Bahkan, bagaimana para algojo itu selalu hidup dalam tawa dan canda, sementara pada saat yang sama banyak ikhwah yang ditahan bagai binatang sembelihan oleh tangan mereka di belakang punggung mereka, ia berteriak sedemikian kerasnya sampai pingsan?”
Inilah was-was yang dihembuskan oleh setan di saat-saat yang berat seperti ini. Ini pulalah kata nafsu ammarah bissuu` di masa-masa yang sulit. Ini semua membutuhkan mujahadah yang serius. Ini semua adalah ujian besar yang benar-benar membutuhkan keteguhan untuk menghadapinya.
Kepada setiap aktivis hendaknya berbicara kepada diri sendiri, “Bukankah jika Allah hendak mengambil para syuhada, Dia menciptakan kaum yang membuka tangan mereka untuk membunuh orang-orang yang beriman. Apakah pantas ada orang yang menusuk Umar selain Abu Lu’lu’ah? Atau Ali selain Abu Muljam? Atau Sumayyah selain Abu Jahal?”
Hendaknya pula setiap ikhwah mengingatkan diri masing-masing dengan firman Allah
إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا
Ali ‘Imran : 178
Juga firman Allah
سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
al-Qalam : 44-45
Karenanya, hendaknya ia menasehati diri sendiri dengan nasehat Ibnul Jauzi, “Ada dalil yang menjelaskan bahwa seorang yang beriman kepada Allah itu seperti seorang buruh harian. Masa kerjanya selama benderangnya siang. Nah, seorang yang dipekerjakan di sawah mestinya tidak memakai baju yang bersih. Semestinya ia bersabar selama masa kerja. Barulah seselesainya, ia membersihkan diri dan memakai pakaiannya yang terbaik. Barangsiapa bersantai-santai di saat bekerja akan menyesal saat pembagian upah, ia akan menanggung akibat atas kelambanannya dalam menuntaskan pekerjaannya. Poin ini akan menguatkan kesabaran.”
Selanjutnya hendaklah berkata kepada diri sendiri, “Biarlah mereka mengambil dunia ~itu pun jika dunia mau~ sedangkan kita, cukuplah akhirat menjadi milik kita.”
Dunia seisinya ini adalah kelezatan sementara yang di sisi Allah tak sebanding dengan selembar sayap nyamuk. Dengan hati dan lisan, hendaknya ia mengulang-ulang pernyataan para mantan penyihir Fir’aun ~setelah hati mereka diluapi keimanan~ kepada Fir’aun masa kini dan masa yang akan datang,
فَاقْضِ مَاأَنتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَآ
Thaha 72
Hendaknya ia juga mengingatkan diri bahwa para thaghut itu, meski mereka dapat memenuhi dunia dengan guncangan, himpitan, dan ancaman kepada orang-orang yang beriman; sesungguhnya kehinaan, rasa sesak, dan kegelisahan yang diakibatkan oleh kemaksiatan tidak akan meninggalkan mereka selama-lamanya. Hasan Bashri berkata, “Mereka itu, walaupun bighal tunduk dan kuda-kuda berjalan bagus di hadapan mereka, sesungguhnya kehinaan yang diakibatkan oleh kemaksiatannya dapat terbaca pada raut mukanya. Sesungguhnya Allah hanya akan menghinakan orang yang bermaksiat kepada-Nya.”
Semua ini hanya dapat dirasakan dan dimengerti dengan sebenarnya oleh orang-orang yang benar-benar beriman, shalih, dan benar-benar mengerti tentang Rabb mereka, Penolong mereka yang sebenarnya. Mereka yang mengerti benar bahwa masa mereka dengan para thaghut akan segera berakhir. Kendaraan telah diparkir dan para penumpang telah bergegas-gegas turun.

KEMULIAAN MENJADI PENGHUNI MADRASAH IBTILA`

Saudaraku, jika Anda dapat bersabar dalam menghadapi masa-masa yang sulit dan penuh kengerian, jika Anda dapat bertahan di atas kebenaran, menghadapi ujian demi ujian, sungguh itu saja merupakan suatu kemuliaan. Sebab dengan begitu, Anda telah menjadi salah seorang alumnus Madrasah Ibtila` nan agung. Madrasah yang telah mendidik dan mencetak tokoh-tokoh dengan tarbiyah khusus sehingga tatkala mereka lulus darinya, mereka telah menjadi emas murni tanpa campuran. Jiwa mereka menjadi jernih, hati mereka menjadi bening, dosa-dosa mereka telah berguguran, dan taubat mereka telah diterima. Mereka khusyu’, tunduk, dan berserah diri kepada Rabb mereka. Mereka bertawakkal kepada-Nya dengan sebenar-benar tawakkal dan mereka kibaskan tangan mereka terhadap selain-Nya.
Barangsiapa berhasil lulus dari Madrasah Ibtila` ini, niscaya akan menjadi salah seorang imam dalam dien dan pemimpin yang membawa petunjuk.
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
as-Sajdah : 24
Dari Madrasah Ibtila` ini telah lulus ‘Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, Shuhaib, Salman, Khabbab bin Arat, Khubaib bin ‘Adiy, dan sahabat-sahabat yang lain.
Dari Madrasah ini pula telah lulus Sa’id bin Jubair, Malik bin Anas, Abu Hanifah, dan seorang murid terhebat yang selanjutnya menjadi guru terhebat pula di Madrasah ini, Imam Ahmad bin Hambal.
Dari Madrasah ini pulalah Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, as-Sarakhsiy, dan para ulama amilin mujahidin fi sabilillah berasal.
Maka, menjadi salah satu alumnus Madrasah megah ini merupakan satu kebanggaan bagi Anda, wahai saudaraku. Madrasah yang pelopornya dan gurunya yang pertama adalah Rasul saw. Beliau yang telah bersabda,
أُوْذِيْتُ فِي اللهِ وَمَا يُؤْذَى أَحَدٌ
Aku sudah dianiaya di jalan Allah ketika belum seorang pun dianiaya.

UJIAN DANPAT MENINGGIKAN DERAJAT DAN MENGGUGURKAN KESALAHAN

Sesungguhnya di surga ada tingkatan yang tidak dapat dicapai oleh seorang hamba dengan amalnya, apa pun amalnya.
Allah telah menyediakan kedudukan tertentu di surga bagi hamba-hambanya yang beriman bukan karena amal mereka melainkan karena ujian dan cobaan yang menerpa. Oleh karenanya Allah swt menyiapkan bagi mereka sebab-sebab yang akan mengantarkan mereka kepada ujian dan cobaan itu. Ya, sama persis seperti halnya Dia memberikan taufik kepada mereka untuk beramal shalih yang juga merupakan sebab-sebab yang akan menyampaikan mereka ke sana.
Ada tingkatan iman yang tidak bisa dicapai oleh seorang hamba dengan amalnya. Ia hanya akan mencapainya dengan ujian dan cobaan. Allah beriradah untuk meningkatkan imannya, maka Allah pun menetapkan ujian dan menolongnya untuk bersabar dan teguh menghadapinya. Jadi ini merupakan rahmat dari-Nya bagi sang hamba.
Bukankah sekiranya orang-orang musyrik Quraisy tidak merampas harta Shuhaib ar-Rumiy niscaya ia tidak akan mencapai derajat “Wahai Abu Yahya, perniagaanmu benar-benar beruntung.”
Bukankah sekiranya keluarga Yasir tidak merasakan pedihnya siksa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Quraisy niscaya tidak akan sampai ke darajat, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.”
Demi, sekiranya bukan karena Anas bin Nadlar tercacah tubuhnya dalam perang Uhud, ia tidak akan mendapatkan kemuliaan ‘Seandainya ia bersumpah, memohon sesuatu kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.’
Kalaulah bukan karena itu, niscaya wajahnya tidak akan berseri-seri dan tidak akan terealisirlah apa yang diinginkannya saat ia bersumpah, ‘Demi Allah, gigi depan Rubayyi’ tidak akan copot.’
Jika bukan karena siksa yang dirasakan oleh Bilal bin Rabah dari tangan Umayyah bin Khalaf dan algojo-algojonya, niscaya ia tidak mendapatkan gelar ‘Bilal, penghulu kita’
Kalaulah bukan karena kesabaran Yusuf as saat digoda dan saat dipenjara, ia tidak akan mendapatkan panggilan ‘wahai yang terpercaya’ (Yusuf : 46)
Sekiranya bukan karena kesabaran ‘Umar bin Khathab mengenyam pahit-getirnya kebenaran dan keadilan, niscaya tangannya tidak akan terbentang menguasai dunia seisinya, atau seperti banyak dikatakan, ‘Tangannya terbentang, menyentuh bumi dengan kilau perhiasan.’
Sekiranya bukan karena kesabaran ‘Umar bin ‘Abdul’aziz mengenyam pahit-getirnya kebenaran dan keadilan, ia tidak akan diakui sebagai khalifah yang kelima.
Jika bukan karena kesabaran ashhaburraji’ atas apa yang menerpa mereka di jalan Allah, niscaya mereka tidak akan menjadi orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِى نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ
al-Baqarah : 207
Jika bukan karena kesabaran Sa’ad bin Mu’adz, perjuangannya di jalan Allah, darahnya yang mengalir saat perang Khandaq, dan hukumnya yang adil terhadap Bani Quraizhah, niscaya ia tidak akan meraih derajat ‘’Arsy ar-Rahman berguncang saat kematian Sa’ad’
Jika bukan karena kesungguhan, pengorbanan, dan kesabaran ‘Abdullah bin Haram saat perang Uhud dan sebelumnya, ia tidak akan meraih derajat, ‘Wahai hamba-Ku, berangan-anganlah, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu.’
Andai bukan karena kesabaran Ahmad bin Hambal dalam menghadapi siksaan dan keteguhannya di atas kebenaran, ia tidak akan mencapai gelar ‘imam ahlussunnah’.
Andai bukan karena kesabaran dan keteguhan Sayyid Quthb dalam menghadapi ujian dan saat digantung, kata-katanya tidak akan dikenang, dan buku-bukunya pun tidak akan tersebar dan berpengaruh di berbagai belahan dunia.
Dus, jika Allah beriradah untuk memilih sebagian hamba-Nya supaya menjadi syuhada`, Dia akan menguasakan musuh kepada mereka yang akan membunuh dan menumpahkan darah mereka dalam cinta dan ridla-Nya, supaya mereka mengorbankan jiwa mereka di jalan-Nya.
Syahadah adalah derajat tertinggi setelah derajat para Nabi dan Shiddiqin. Syuhada` adalah orang-orang yang berkorban untuk Rabbnya. Mereka telah ridla kepada Allah, dan Allah pun telah memilih mereka untuk-Nya sendiri.
Karena itulah Allah mengadakan sebab-sebab untuk itu. Allah menjadikan musuh-Nya ~yang juga musuh orang-orang yang beriman~ sebagai sebab tercapainya syahadah orang-orang yang beriman.
Sungguh derajat yang tinggi.
Apabila Allah beriradah untuk mengangkat para da’i dan para mujahid ke derajat ini, maka mereka harus terbunuh di tangan musuh.
Di sana ada dosa besar yang hanya dapat dihapus oleh kebaikan yang besar atau ujian yang berat. Maka Allah menetapkan ujian bagi wali-wali-nya, supaya dosa-dosa mereka terhapuskan; yang kecil ataupun yang besar, yang tampak ataupun yang kasat mata, yang awal ataupun yang akhir, sampai tak tersisa lagi satu kesalahan pun. Lalu mereka menghadap Rabbnya sedangkan dosa-dosa mereka telah berguguran.
Kemuliaan yang tak terkira dan derajat yang sangat tinggi!
Kiranya inilah yang diisyaratkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidziy dari Abu Hurairah ra katanya, Rasulullah saw bersabda,
مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Ujian akan terus menimpa seorang mukmin; laki-laki dan perempuan, menimpa dirinya, anaknya, dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah tanpa membawa dosa.

MENIKMATI JALAN KEBENARAN
Sesungguhnya jalan kebenaran itu sulit dan berat, penuh dengan onak dan duri. Siapa pun tahu tentang semua ini dengan ilmul yaqin, dan bahkan ainul yaqin.
Bagaimana tidak, setiap hari semua dapat mendengar dan menyaksikan para algojo jahiliyyah saat mereka mengarahkan senjata dan peluru mereka ke dada orang-orang yang beriman. Doktrin mereka kini adalah ‘menyarangkan peluru tepat di jantung’. Masa menembakkan gas air mata , mematahkan tangan dan kaki telah berakhir.
Sesungguhnya jalan kebenaran itu... seberat dan sesulit apa pun itu, seorang mukmin akan senantiasa menikmati dan mencintainya. Dalam menjalaninya, seorang mukmin akan dapat merasakan rasa manisnya yang tidak dapat digambarkan; tiada yang mengetahuinya selain yang merasakannya. Bagaimanapun saya menggambarkan bagi Anda rasa manis dan kemuliaan ini, saya tidak akan mampu benar-benar menyifatinya. saya hanya memohon kepada Allah semoga Dia menganugerahkan itu kepada saya, Anda semua, dan seluruh kaum muslimin.
Rasa manis inilah yang akan memudahkan semua kesulitan, meringankan beban berat, menabahkan di jalan mendaki, dan menjadikan seorang mukmin ridla terhadap Pelindungnya dan Penciptanya, bahkan ketika ia melewati masa terpahit dan hari terberat sekali pun.
Bukankah sahabat Haram bin Milhan ketika dikhianati dan sebatang tombak dilemparkan ke arahnya, saat tombak itu dicabut dan ia melihat darah, kata-kata yang terucap adalah, “Ohh, aku telah sukses, demi Rabb Ka’bah!”?!
Begitu pula dengan sahabat yang mulia, ‘Utsman bin Mazh’un yang menjadi buta sebelah matanya di jalan Allah setelah ia menolak perlindungan yang diberikan oleh seorang musyrik dan memilih ridla dengan perlindungan Allah. Kepadanya, Walid bin Mughirah berkata, “Demi Allah, wahai kemenakanku, jika matamu tidak menginginkan apa yang terjadi sekarang ini, sebenarnya aku dapat menjaminnya.” Maka Utsman pun menjawab, “Sebaliknya, demi Allah, sungguh mataku yang satu yang masih sehat ini benar-benar menginginkan apa yang menimpa saudaranya di jalan Allah. Dan sungguh aku kini berada di sisi Dzat yang jauh lebih mulia daripada dirimu!”
Juga, tidakkah kau dengar kata-kata Khalid bin Walid berikut, “Malam pengantin dengan wanita yang sangat aku cintai, lalu aku diberi kabar gembira akan lahirnya seorang anak laki-laki, tidak lebih aku sukai daripada malam yang sangat dingin dan penuh salju, di mana aku berada di tengah-tengah pasukan untuk menyerang musuh keesokan harinya.”
Shalahuddin al-Ayyubi, karena meruah cintanya kepada jihad dan nikmat yang dirasakannya ada dalam kematian, luka, dan keletihan di jalan Allah; karena itu semua ia membenci kehidupan istana dan hura-hura. Ia lebih suka kehidupan di bawah tenda di padang lapang. Para sejarawan sampai menulis, “Semua perbincangannya tentang jihad dan mujahidin. Semua kajiannya tentang senjata-senjata dalam jihad. Ia telah rela hidup di bawah tenda di gurun pasir.”
Ada pula ‘Umeir bin Hammam ra Ketika ia mendengar penuturan Rasulullah saw saat perang Badar, bahwa Allah mewajibkan surga bagi siapa saja yang mati syahid di jalan-Nya, ia berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, surga yang seluas langit dan bumi itu?” “Benar.”, jawab beliau. “Ck..ck..”, komentar ‘Umeir. Rasulullah saw bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk mengucapkan kalimt ‘Ck..ck..’? Ia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah, rasanya aku tidak punya harapan untuk menjadi penghuninya.” “Tetapi kamu termasuk penghuninya!”, jelas beliau. Maka ‘Umeir mengeluarkan korma dari kantungnya, ia makan beberapa biji, lalu berkata, “Jika aku masih hidup untuk menikmati korma-korma ini, sungguh itu adalah kehidupan yang panjang.” Kemudian ia membuang semua korma yang ada di tangannya, lalu ia maju bertempur sampai terbunuh.
Ia telah menikmati jalan (kebenaran) dan mengecap rasa manisnya. Maka ia merasakan beberapa detik yang ia habiskan untuk makan korma dan sekian saat yang akan mengakhirkannya dari surga serasa setahun.
Saat akan dibunuh, Khubaib bin ‘Adiy bersyair,
وَلَسْتُ أُبَالِي حِيْنَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا
عَلَى أَيِّ جَنْبٍ كَانَ فِي اللهِ مَصْرَعِيْ
وَذَلِكَ فِيْ ذَاتِ اْلإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ
يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ
Aku tiada peduli saat aku terbunuh sebagai seorang muslim
Dalam posisi apa pun, sungguh aku terjatuh karena Allah
Bagi Allah, jika Dia menghendaki
Dia akan memberkati setiap bagian tubuh yang terpisah.
‘Umeir bin Abu Waqqash, adik kandung Sa’ad bin Abu Waqqash, saat terjadi perang Badar umurnya belum genap 16 tahun. Diam-diam ia pergi ke medan tempur. Ia menghindari Rasulullah saw khawatir jika disuruh pulang lagi. Maka ketika beliau mengetahui keinginan dan keseriusannya untuk berperang, beliau mengizinkannya. Ia maju dan akhirnya terbunuh di jalan Allah.
Sebelum berangkat ke medan Uhud, ‘Abdullah bin Jahsy dan Sa’ad bin Abu Waqqash bertemu sesaat dan bersepakat untuk mengamini doa masing-masing secara bergantian. Doa ‘Abdullah adalah sebagai berikut, “Ya Allah, berikan rizki kepadaku berupa seorang laki-laki yang dipenuhi amarah dan sangat kuat sehingga aku memeranginya karenamu, dan ia pun mampu memberikan perlawanan. Kemudian ia dapat mengalahkanku, ia iris hidungku dan telingaku. Lalu ketika nanti aku berjumpa dengan-Mu saat Kau tanya, ‘Wahai ‘Abdullah kenapa hidung dan telingamu teriris?’ lalu aku menjawab, ‘Karena-Mu dan karena membela Rasul-Mu’, dan Engkau pun berfirman, ‘Kamu benar.’”
Doa yang agung dan benar-benar menakjubkan! Pribadi-pribadi yang telah menjual segalanya kepada Rabbnya dan segala kepahitan mereka rasakan sebagai manisan. Doa ini tidak mungkin muncul kecuali dari seseorang yang telah menikmati jalan kebenaran dan mengecap rasa manisnya. Baginya, keridlaan Allah adalah segalanya. Baginya, berjumpa dengan Allah dalam keadaan taat kepadanya dan terbunuh di jalan-Nya adalah hal terpenting dalam hidup.
Mereka dan orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang memang pantas mendapatkan tamkin dari Allah, kemenangan dari-Nya, dan menjadi pilihan-Nya.
‘Abdullah bin Jahsy telah meraih cita-citanya; terbunuh sebagai syahid di medan Uhud, dan hidungnya diiris oleh orang-orang musyrik. Mungkin ada sebagian yang tidak tahu bahwa ‘Abdullah bin Jahsy masih kerabat Nabi. Ia adalah anak bibi Rasulullah saw.
Mereka adalah kaum yang merasakan bahwa kemuliaan mereka hanya akan terwujud dengan meniti jalan ini, meskipun harus dengan memupus keinginan, meskipun harus dengan memerangi orang-orang berkulit putih dan hitam, meskipun semua orang bersepakat untuk memusuhi mereka, serta meskipun mereka harus meninggalkan kampung halaman dan keluarga.
Anda dapat merasakan hal itu di dalam kecintaan agung yang menggenangi hati Sa’ad bin Mu’adz; kecintaannya terhadap kematian sebagai syahid di jalan Allah. Setelah ia menjatuhkan vonis bagi Yahudi Bani Quraizhah, ia ~saat itu ia sedang terluka~ berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Anda tahu bahwa yang paling aku cintai adalah berperang di jalan-Mu menghadapi kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, sungguh aku mengira mulai saat ini Anda telah menghentikan peperangan antara kami dengan mereka. Karenanya, jika masih akan ada peperangan melawan Quraisy, panjangkan hayatku supaya aku dapat berjihad menghadapi mereka dijalan-Mu. Namun jika Anda telah menghentikannya, pancarkan darahku dan jadikanlah kematianku karenanya.” Maka, terpancarlah darah dari tubuhnya. Para sahabat tidak ada yang menyadarinya sampai mereka melihat darah mengalir dari tenda Sa’ad. Rasulullah saw telah menempatkannya di tenda dekat masjid untuk diobati. Melihat darah yang mengalir itu, para sahabat berseru, “Hai penghuni tenda, apa yang terjadi di tenda kalian?” Mereka menyaksikan Sa’ad telah bersimbah darah, dan ia gugur karenanya.
Mundzir bin ‘Umeir di kalangan sahabat dikenal sebagai al-mu’niq lil maut, orang yang paling cepat menuju kematian sebagai syahid di jalan Allah. Gelar itu ia dapatkan karena dialah yang pertama kali terbunuh sebagai syahid dalam peristiwa bi`ru ma’unah.
Khalid al-Islambuli, ketika menghadapi hukuman mati tampak di wajahnya kebahagiaan tak terkira. Ketika ia melihat kesedihan di wajah salah seorang saudaranya, sambil mengucapkan salam untuk yang terakhir kali ia berkata, “Jangan bersedih, aku cuma pergi kepada Rabbku!”
Seorang aktivis, setelah dalam peperangan yang sengit tangan kanannya terluka parah ~telapak tangan kanannya benar-benar terputus~ berulang-ulang, di antara mati dan hidup ia mendengungkan, “ “Thaha : 84
Aktivis yang lain, menangis tersedu-sedu saat ia ditolak untuk berjihad ~ tubuhnya lemah~ sebab ia bercita-cita mendapatkan rizki berupa syahadah. Ketika komandan pasukan mengetahui tangisnya, ia berkata, “Inilah yang aku harapkan!” Lalu ia pun memasukkannya ke dalam barisan… Ketika musuh akan mengeksekusinya ~ia tertawan~ ia mulai berdoa; banyak dan panjang, doa untuk kecelakaan mereka. Ia terus menerus berseru dengan suara yang keras, “Orang-orang yang terbunuh dari akan mendapatkan surga! Orang-orang yang terbunuh dari kalian akan mendapatkan siksa neraka!”
Saya telah menyaksikan para aktivis yang utama dengan mata kepala sendiri. Mereka yang terbilang para pemimpin dan imam pembawa petunjuk, saya saksikan mereka tidur beralas bumi atau di atas selembar selimut. Mereka tidak memiliki dunia, makanan, dan minuman. Pakaian mereka hanyalah yang menutupi aurat mereka. Ada di antara mereka yang berbantal tangan mereka sendiri atau sepatu mereka. Ada pula yang berbantal piring yang biasa dipakai untuk makan siang. Ada pula yang berbantalkan batu bata.
Kendati pun demikian, mereka benar-benar dalam kebahagiaan yang tak terkira karena ketaatan mereka kepada Rabb mereka dan karena taufik yang Dia berikan kepada mereka untuk tetap teguh di atas kebenaran, ibadah, dan ketaatan. Juga karena Allah telah membukakan bagi mereka ma’rifah yang sebenarnya kepada Allah, asma`, dan shifat-Nya.
Kebahagiaan yang mereka rasakan seakan-akan dunia ini dipersembahkan untuk mereka. Anda dapat merasakan, sepertinya mereka mengulang-ulang kalimat ini, “Kami berada dalam kenikmatan. Dan sekiranya para raja mengetahui kenikmatan yang kami rasakan, niscaya mereka akan merebutnya dengan pedang!”
Bagi mereka urusan dunia ini tidak ada nilainya. Kesibukan mereka hanyalah beramal untuk Islam dan mengupayakan kejayaannya di muka bumi. Hati mereka bersorak, “Berada di jalan Allah… anugerah terindah!”
Mereka yang telah saya sebut di muka adalah orang-orang yang menikmati jalan kebenaran dan mengecap rasa manis yang telah mengusir derita, onak dan duri, kesulitan, serta siksaan dari jalan itu. Bahkan, siksa berubah menjadi nikmat, pahit menjadi manis, sulit menjadi mudah, dan mahal menjadi murah. Keridlaan mereka terletak pada keridlaan Pelindung mereka yang sebenarnya (Allah). Kecintaan mereka terhadap sesuatu adalah karena kecintaan mereka kepada-Nya yang Mahasuci. Mereka senantiasa bergegas menuju kecintaan dan keridlaan Rabb mereka, meskipun harus kehilangan dunia seisinya.
إِنْ كَانَ رِضَاكُمْ فِيْ سَهَرِيْ
فَسَلاَمُ اللهِ عَلَى وَسَنِيْ
Sekiranya keridlaan ada dalam berjaganya aku
Kuucapkan ‘wassalam’ untuk rasa kantukku
Itulah derajat yang tinggi. Barangsiapa diberi taufik oleh Allah untuk itu, sungguh ia telah diberi taufik untuk kebaikan yang banyak.
Saya memohon kepada Allah, semoga menjadikan kita semua sebagai ahlinya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

DIEN INI HANYA AKAN DIPIKUL OLEH ORANG-ORANG YANG BERTEKAD BAJA
Ketahuilah bahwa dien ini hanya tegak di atas pundak orang-orang yang memiliki ‘azam yang kuat. Ia tidak akan tegak di atas pundak orang-orang yang lemah dan suka berhura-hura, tidak akan pernah!
Dien yang agung ini hanya akan tegak di pundak orang-orang yang agung pula. Tanggung jawab besar yang sempat dienggani oleh langit dan bumi, pasti hanya akan dipikul oleh ahlinya, rijalnya.
Bagaimana mungkin Islam akan tegak tanpa ‘azam seteguh ‘azam Anas bin Nadlar yang pernah berkata, “Sekiranya Allah memberi kesempatan kepadaku untuk memerangi orang-orang musyrik, niscaya Dia akan melihat apa yang aku lakukan.”
Lalu ia mengikuti perang uhud, berperang, dan gugur di sana. Pada tubuhnya didapati lebih dari 80 luka bekas anak panah, pedang, dan tombak. Tubuhnya terkoyak tak terkenali lagi. Hanya saudara perempuannya yang mengenalinya, dari jari-jemarinya.
Bagaimana mungkin Islam akan tegak dan kembali jaya dan mulia tanpa ‘azam sekokoh ‘azam Abu Bakar ash-Shiddiq saat terjadi gerakan murtad massal. Saat itu, ia yang telah lanjut usia dan sangat gampang menangis, dengan ketegaran batu karang berkata, “Demi Allah, aku akan memerangi siapa pun yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah sekiranya mereka tidak membayarkan satu iqal yang mereka bayarkan kepada Rasulullah saw niscaya aku akan benar-benar memerangi mereka karenanya.”
Ia juga berkata, “Demi Allah yang tiada Ilah yang haq selain Dia, kalaupun anjing-anjing menyeret kaki istri-istri Rasulullah saw, aku tidak akan menarik mundur pasukan yang telah diberangkatkan oleh Rasulullah saw dan aku pun tidak akan melipat panji yang telah dikibarkan oleh Rasulullah saw”
Bagaimana mungkin Islam akan tegak dan kembali mendapatkan kemuliaan dan ‘izzahnya tanpa tekad baja seperti tekad Mush’ab bin ‘Umeir. Tekad yang membuatnya meninggalkan kehidupan masa muda, masa hura-hura , menuju kehidupan yang keras, fakir, dan bersahaja. Tekad yang telah menjadikan Mush’ab sebagai pintu masuk Islamnya kebanyakan penduduk Madinah.
Bahkan Anda akan merasakan bahwa Mush’ab adalah seorang pemilik tekad, sampai di saat kematiannya! Ia yang memegang panji dalam perang Uhud, tangan kanannya terputus, sehingga ia memegangnya dengan tangan kiri. Tangan kirinya pun terputus, maka ia memegang panji dengan kedua lengannya. Dalam keadaan seperti itu, Ibnu Qum’ah ~yang terlaknat~ menyabetkan pedangnya, dan Mush’ab pun gugur, semoga Allah merahmatinya. Bahkan lagi, mungkin Anda akan merasakan betapa tekad Mush’ab melekat erat padanya. Mush’ab, seorang pemuda perlente … para sahabat tidak mendapati kain yang cukup untuk mengkafaninya selain secarik kain, jika bagian atasnya ditutup akan tampaklah kakinya, dan jika kakinya yang ditutup akan tampaklah kepalanya! Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka supaya menutup bagian kepalanya, dan menutupi kedua kakinya dengan rumput idzkhir.
Bagaimana mungkin Islam akan tegak dan kembali mendapatkan kemuliaan dan ‘izzahnya tanpa tekad baja seperti tekad Shalahuddin al-Ayyubi. Tekad yang telah memporak-porandakan pasukan salib di Hiththin dan mengembalikan ummat Islam kepada aqidah yang benar… setelah hampir saja tenggelam di kegelapan lautan Syi’ah dan kesesatan Bathiniyyah.
Betapa kita sangat membutuhkan tekad yang dimiliki oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Tekad yang telah menjadikan Sultan yang agung ini meninggalkan kemewahan hidup para raja, dan justru memilih kehidupan di bawah kemah yang terombang-ambing ditiup angin di tengah gurun sahara.
Seluruh hidupnya dia habiskan di bawah terpaan terik dan keringnya gurun pasir di musim panas serta dinginnya angin yang bertiup dan salju yang turun di musim dingin… Ia bersama para mujahidin.
Betapa indah penuturan seorang sejarawan, Ibnu Syidad tentangnya, “Kecintaan dan rindu dendamnya terhadap jihad telah meluapi hati dan seluruh persendiannya. Semua pembicaraannya tentang jihad. Semua kajiannya tentang perlengkapan jihad. Semua perhatiannya tentang pasukan tempur. Semua kecenderungannya terhadap orang-orang yang mengingatkan dan mendorong kepada jihad. Demi cintanya kepada jihad fi sabilillah, ia telah meninggalkan keluarga, anak-anaknya, kampungnya, tempat tinggalnya, dan seluruh negerinya dan rela memilih hidup di bawah kemah yang bergoyang ke kanan dan ke kiri dihembus angin.”
Jikalau bukan karena Allah menganugerahkan tekad Shalahuddin al-Ayyubi kepada ummat ini, niscaya dien ummat ini dan juga buminya akan sama rata, tidak tersisa tempat untuk hidup baginya.
Bagaimana mungkin Islam akan tegak dan kembali mendapatkan kemuliaan dan ‘izzahnya tanpa tekad baja seperti tekad ‘Umar bin ‘Abdul‘aziz, yang lewat tangan ‘Umar Allah memperbaharui kondisi ummat dalam waktu dua setengah tahun saja; sampai-sampai dikatakan bahwa seekor serigala pun berdamai dengan seekor kambing pada masanya! Ini bukanlah suatu hal yang aneh atau asing kecuali bagi orang-orang yang ilmunya tentang Allah dan sunnah-Nya terhadap wali-wali-Nya hanya sedikit.
Betapa Islam sangat membutuhkan tekad semacam tekad ‘Umar bin ‘Abdul‘aziz yang pernah dikirimi surat ‘protes’ oleh salah seorang pegawainya. Isi surat itu, “Sesungguhnya reformasi keuangan yang dilakukan oleh khalifah dan penghapusan jizyah dari orang-orang Barbar yang masuk Islam pasti akan mengakibatkan defisit pada kas negara.”
Maka ‘Umar pun membalasnya sebagai berikut, “Demi Allah, aku benar-benar menginginkan andai semua orang masuk Islam, lalu aku dan kamu ke sawah, membajak, dan makan dari hasil jerih payah tangan kita.”
Pada kesempatan lain ‘Umar berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad sebagai pembawa petunjuk, bukan penarik pajak.”
Sehubungan dengan urgensi tekad inilah Rasulullah saw memohon kepada Rabb-nya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam melaksanakan perintah dan tekad yang utuh untuk memberi petunjuk.”
Ini adalah pengajaran bagi kita, pendidikan bagi ummat Islam pada umumnya, dan bagi para aktivis pada khususnya. Untuk itu, hendaknya kita banyak-banyak memanjatkan doa yang agung ini disertai dengan memenuhi faktor-faktor pendukungnya.
Himmah, semangat yang tinggi benar-benar menggelegak di dalam dada orang-orang yang memilikinya seperti air mendidih dalam kuali. Ia akan mendorong pemiliknya untuk terus-menerus bekerja dari pagi hingga sore hari, sehingga terwujudlah penuturan Imam Syafi’i, “Bagi rijal, istirahat itu sama saja dengan lalai.”
Pemilik himmah yang tinggi akan menjadikan syair yang selalu digemakan oleh Imam Syafi’i berikut ini sebagai motto hidupnya.
أَنَا إِنْ عِشْتُ لَسْتُ أَعْدِمُ
قُوْتًا وَإِذَا مِتُّ لَسْتُ أُحْرَمُ قَبْرًا
هِمَّتِي هِمَّةُ الْمُلُوْكِ وَنَفْسِي
نَفْسُ حُرٍّ تَرَى الْمَذَلَّةَ كُفْرًا
Aku, jika aku masih hidup aku pasti akan bisa…
makan. Dan jika aku mati aku pasti kebagian kuburan.
Semangatku adalah semangat para raja, jiwaku adalah …
jiwa yang merdeka, yang melihat kehinaan hanya pada kekafiran
Betapa rijal harakah Islamiyyah membutuhkan himmah yang tinggi itu. Himmah yang tidak mengenal kata mustahil, yang tidak berhenti karena adanya aral melintang; apa pun itu..
Bukankah himmah telah menjadikan dua orang sahabat Nabi saw ~keduanya adalah saudara kandung dan terluka parah dalam perang Uhud~ sebagai … kita biarkan salah seorang dari keduanya mengisahkan sendiri tentang himmahnya yang tinggi, “Aku dan saudara kandungku sama-sama mengikuti perang Uhud bersama Rasulullah saw. Kami berdua pulang dalam keadaan terluka parah. Ketika seorang utusan Rasulullah saw mengumandangkan seruan untuk keluar kembali mengejar musuh, aku katakan kepada saudaraku ~atau ia katakan kepadaku~, ‘Apakah kita akan kehilangan kesempatan berperang bersama Rasulullah saw?!’ Demi Allah, kami tidak memiliki tunggangan untuk berangkat padahal kami berdua benar-benar terluka parah. Kendati demikian, kami tetap berangkat bersama Rasulullah saw. Lukaku lebih ringan daripada luka saudaraku. Ketika ia benar-benar tidak mampu lagi berjalan, maka aku mengendongnya. Jika aku kelelahan menggendongnya, ia pun berjalan tertatih-tatih, dan begitu seterusnya sampai kami berdua tiba di tempat pemberhentian kaum muslimin.”
Perlu diketahui bahwa Hamra`ul Asad, tempat pemberhentian yang ditetapkan oleh Nabi saw berjarak lebih dari delapan mil dari kota Madinah!
Saya sendiri sangat takjub dengan himmah Waraqah bin Naufal. Seorang yang telah lanjut usia, lemah jasadnya, rapuh tulangnya, bungkuk punggungnya, dan memutih rambutnya… kepada Rasulullah saw ia ber’azam, “Sungguh, jika aku nanti mendapati harimu, aku akan menolongmu dengan sebenar-benarnya!” Lalu ia mendekatkan kepala Nabi kepadanya dan menciumnya.
Waraqah yang telah renta itu pernah berharap mendapati masa turunnya wahyu sehingga ia berkesempatan untuk membantu dakwah Rasulullah saw
Sebenarnyalah, kata-kata Waraqah bin Naufal ini menyisakan pengaruh sang sangat kuat dalam diri saya dan banyak ikhwah. Seorang yang sudah sangat tua menantang dunia seisinya demi menolong Rasulullah saw. Bahkan ia sempat berharap menjadi orang yang pertama kali masuk Islam dan yang pertama kali mengikuti Rasul saw yang mulia, sampai ‘walau Mekah terguncang’. Itu pun tidak cukup! Ia masih meneriakkan dengan lantang di hadapan orang-orang musyrik, sekiranya Allah memanjangkan umurnya sampai hari itu tiba, niscaya akan dapat disaksikan upaya dahsyat darinya demi menegakkan kebenaran dan membela Rasul saw meski orang-orang kafir menghalangi. Ia tidak takut kepada celaan selagi berada di jalan Allah.
Kalimat-kalimat Waraqah benar-benar mengalirkan ‘darah muda dan semangatnya’ di dalam dada saya, sesuatu yang selama ini saya dan para aktivis selalu mencari-carinya, padahal saya masih muda. Saya merasa, Waraqah benar-benar siap untuk memerangi dunia seisinya sendirian demi menjaga dan membela Rasul saw yang mulia. Masih banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari kisah Waraqah bin Naufal. Saya berharap semoga Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk menampilkannya dalam sebuah risalah khusus.
Benarlah kata orang,
إِذَا كَانَتِِِ النُّفُوْسُ كِبَارًا
تَعِبَتْ فِيْ مُرَادِهَا اْلأَجْسَامُ
Apabila jiwa-jiwa itu besar
Tubuh ‘kan lelah memenuhi keinginannya
Semoga Allah merahmati orang yang telah mengucapkan kalimat berikut, “Wahai orang yang meminang bidadari surga tetapi tidak memiliki ‘sepeser’ pun semangat, jangan Anda bermimpi, jangan Anda bermimpi! Telah sirna manisnya masa muda dan yang tersisa tinggallah pahitnya penyesalan.”
Benar juga Ibnul Qayyim yang telah berkata, “Wahai orang yang bersemangat banci! Ketahuilah, yang paling lemah di papan catur adalah bidak. Namun jika ia bangkit, ia bisa berubah menjadi menteri.”

YANG KITA HARAPKAN : ‘AZAM YANG MENYELURUH
Sesungguhnya, ‘azam yang kami harapkan muncul dari kalian adalah azam yang menyeluruh; ‘azam dalam ilmu dan amal, ‘azam dalam dakwah dan jihad, ‘azam dalam iman dan yakin, ‘azam dalam sabar dan ridla, ‘azam dalah hisbah dan menyerukan kebenaran, serta ‘azam dalam memperbaiki diri dan memberi petunjuk kepada semua makhluk.
Kami tidak mengharapkan ‘azam yang cuma sepotong, sebatas satu bidang tertentu saja. Kami menginginkan orang-orang yang memiliki himmah yang tinggi dalam pelbagai medan amal islami, bukan satu bidang saja. Kami hanya menginginkan ‘azam yang utuh dan menyeluruh.
Tentang ini, saya tidak mendapati kalimat yang lebih baik daripada kalimat Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain, “Di antara mereka ada orang yang melewati semua celah, berjalan menuju Allah dari berbagai lembah, dan sampai ke sana dari berbagai jalan. Orang ini menjadikan tanggungjawab ubudiyyahnya sebagai kiblat gerakan hati dan sasaran pandangan matanya. Ia menjadi makmum dan berjalan di belakang ubudiyyahnya, ke mana pun ia pergi. Ia memiliki saham di semua bagian; di mana ada ubudiyyah di sana ia ada. Dalam ilmu, anda akan mendapatinya bersama ahlinya. Dalam jihad anda akan menemuinya di shaf para mujahid. Dalam shalat anda akan menjumpainya bersama orang-orang yang khusyu’. Dalam dzikir anda akan menyaksikannya bersama ahli dzikir. Dalam kebajikan dan manfaat anda akan melihatnya bersama orang-orang yang penuh kebajikan. Ia benar-benar memegang erat ubudiyyah bagaimana pun pilar-pilar ubudiyyah itu adanya. Ia menghadap kepadanya di manapun bagian-bagian ubudiyyah itu berada. Jika ada yang bertanya, ‘Amal jenis apakah yang kamu inginkan?’, ia akan menjawab, ‘Aku ingin menunaikan perintah-perintah Rabbku, bagaimana pun dan di manapun. Aku ingin apapun tuntutannya. Aku ingin entah aku akan dikumpulkan atau dicerai-beraikan. Aku hanya ingin menunaikannya, melaksanakannya, dan mawas diri di dalamnya. Aku ingin menghadapkan ruh, kalbu, dan badanku. Aku ingin menyerahkan perniagaanku kepada-Nya demi menunggu harga yang akan dibayarkan,
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
at-Taubah : 111

KATAKAN KEPADA ORANG-ORANG MUNAFIK
Orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya berpenyakit akan berkata, “Apakah kalian mengira bahwa keinginan kalian akan terwujud? Apakah kalian mengira bahwa khilafah islamiyah atau bahkan daulah islamiyah akan tegak kembali? Tidak mungkin, mustahil! Hal itu lebih mendekati khayalan daripada kenyataan! Apakah Amerika, Rusia, Eropa, dan Israel akan membiarkannya? Sedangkan mereka adalah musuh yang paling getol menyerang Islam dan negara Islam!”
Mereka akan menambahkan, “Hanyasanya kalian mengusahakan fatamorgana! Kalian tertipu oleh dien kalian!”
Jika mereka telah mengatakan hal itu, ingatlah firman Allah azza wa jalla
إِذْ يِقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ غَرَّهَؤُلآءِ دِينُهُمْ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَإِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
al-Anfal : 49
Katakan kepada mereka, “Khilafah islamiyah akan kembali seberat dan sebesar apa pun tantangannya. Katakan bahwa tegaknya daulah islamiyah adalah perkara yang tak dapat diragukan lagi, meski itu memakan waktu. Sesungguhnya pertolongan Allah pasti tiba.”
Katakan kepada mereka, “Allah benar-benar akan menaklukkan Roma bagi kaum muslimin sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang shahih , seperti halnya Konstantinopel pernah ditaklukkan.”
Katakan bahwa “Harapan kami kepada pertolongan dari Allah lebih jauh lagi. Kami ingin Allah menaklukkan Kremlin dan Gedung Putih. Sebab bersama kami ada janji-Nya,
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَااسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَيُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
an-Nuur : 55
Kapan itu akan terwujud? Itu bukan urusan kami. Pun Allah tidak membebani kami dengan hal itu. Allah hanya membebani kami dengan mengamalkan dien, membela syariat, menghabiskan seluruh waktu untuk itu, dan mengerahkan segenap kemampuan. Sedangkan perkara hasil, itu terserah kepada Allah ‘azza wa jalla.”
فَعَلَيْكَ بَذْرُ الْحَبِّ لاَ قَطْفُ الْجَنَى
وَاللهُ لِلسَّاعِيْنَ خَيْرُ مُعِيْن
Tugasmu menabur benih bukan menuai hasil
Dan Allah adalah sebaik-baik Penolong bagi orang-orang yang berusaha
Katakan kepada mereka kata-kata Ya’qub as setelah ia kehilangan dua anaknya; Yusuf dan Bin-yamin, “ “Yusuf 94
Katakan kepada mereka, “Meski beban dan ujian berat menerpa, namun sesungguhnya kami dapat merasakan hawa kemenangan, pertolongan, kejayaan, dan hawa kembalinya khilafah islamiyah, jika kalian tidak menyembunyikannya!”
Banyak orang akan berkata, “Kalian masih saja dalam kesesatan kalian yang dulu-dulu.”
Sungguh, kepada para sahabat sepulang mereka dari perang Uhud orang-orang munafik berkata, “Kembalilah kepada agama nenek moyang kalian!”
Kalimat-kalimat ini senantiasa akan diucapkan oleh orang-orang munafik kepada ahlul-iman kapan pun dan di mana pun saat para aktivis Islam ditimpa musibah atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atau saat mereka ditangkap untuk dipenjara, disiksa, dibunuh, atau dianiaya. Saat itu mereka akan berkata, “Sudahlah, tinggalkan idealisme kalian! Kembalilah! Sesungguhnya agama inilah yang menyebabkan kalian merasakan musibah ini. Agama ini pulalah yang memupus masa depan kalian, melemparkan kalian dalam gelapnya rumah tahanan, dan mengasingkan kalian di negeri ini. Tinggalkan semua yang telah mendatangkan musibah ini! Raihlah keselamatan dan kebahagiaan!”
Jika mereka mengatkan itu, katakan kepada mereka,
إِنَّ اللهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ ءَامَنُوا
al-Hajj : 38
وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ مَن يَنصُرُهُ
al-Hajj : 40
وَمَالَنَآ أَلاَّ نَتَوَكَّلَ عَلَى اللهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا
Ibrahim : 12
قَدِ افْتَرَيْنَا عَلَى اللهِ كَذِبًا إِنْ عُدْنَا فِي مِلَّتِكُمْ بَعْدَ إِذْ نَجَّانَا اللهُ مِنْهَا وَمَا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّعُودَ فِيهَآ إِلآ أَن يَشَآءَ اللهُ رَبُّنَا وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ
al-A’raf : 89
Orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya berpenyakit akan mengulang kata-kata orang-orang munafik tentang ashhaburraji’ yang dikhianati oleh orang-orang musyrik yang membunuh mereka semuanya.
Hari itu orang-orang munafik berkata, “Celakalah mereka, orang-orang yang sesat, orang-orang yang binasa dengancara seperti itu! Mereka tiada berkumpul bersama keluarga mereka, pun tidak menunaikan risalah sahabatnya (Rasulullah).”
Kalimat seperi ini akan dilontarkan kepada kalian manakala ada sebagian ikhwah yang terbunuh, dipenjara, atau diusir. Saat itu orang-orang yang hatinya berpenyakit akan berkata, “Mereka itu tiada duduk dan selamat, tiada pula mampu menghilangkan kemungkaran dan kenistaan.”
Mereka akan berkata lagi, “Mereka itu tiada duduk dan selamat, memperhatikan masa depan dan kelayakan hidup mereka, tiada pula menegakkan daulah Islam.”
Jika kalian mendengar ungkapan ini, ingatlah bahwa al-Qur`an telah mengungkapkan tentang orang yang mengatakannya
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ
al-Baqarah : 204
Deskripsi al-Qur`an ini tidak hanya berlaku untuk orang yang telah mengatakannya pada zaman Nabi saja, tetapi juga berlaku bagi semua pengikutnya dan orang-orang yang mengucapkan kata-katanya sepanjang zaman, di mana pun mereka berada.
Jika kalian mendengar ucapan itu, katakan kepada mereka, “Tujuan kami adalah menegakkan dien. Menegakkan daulah adalah wasilah dari sekian wasilah untuk menegakkan dien dan mewujudkan tegaknya dien itu. Tidak mungkin kami mengorbankan tujuan utama demi mendapatkan wasilahnya.”
Khadijah binti Khuwailid ra pernah menghibur Rasulullah saw, “Bergembiralah, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya”
Kami sampaikan kepada seluruh aktivis Islam yang mengikhlaskan amalnya hanya kepada Allah, “Selama kalian berada di atas kebenaran, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan kalian selama-lamanya! Yang kalian lakukan adalah menjalin silaturrahim, membela syariat, memperjuangkan kemuliaan, memerangi kebejatan, berdakwah ilallah dengan bashirah, beramar makruf nahi munkar, melaksanakan qiyamullail, mengerjakan shiyam sunnah, dst.”
Jika kalian mendengar ucapan-ucapan di atas, ingatlah nenek moyang orang-orang munafik itu. Allah berfirman,
الَّذِينَ قَالُوا لإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Ali ‘Imran : 168-169
Dan katakan kepada mereka, “Sesungguhnya Waraqah bin Naufal, seorang yang telah lanjut usia, pernah melewati Bilal bin Rabah saat mereka menyiksanya. Saat Bilal terus mengulang-ulang kalimat ‘Ahad…Ahad…’ dengan keteguhan gunung-gemunung, Waraqah berkata, ‘Ahad… Ahad… Demi Allah, bertahanlah wahai Bilal! Sungguh, jika kalian membunuhnya sementara ia mengucapkan kalimat itu, aku bersumpah akan menjadikannya sebagai orang yang paling aku rindukan.’”
Perhatikanlah pemahaman yang mendalam ini. Pemahaman terhadap Islam dari seorang yang telah renta dan hanya mendapati sedikit saja ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi saw sebelum akhirnya ia menemui ajal. Adalah bening hati, ikhlash serta kemurniannya dari hawa nafsu dan kemunafikan ada pada dirinya.

KAMI MENUNGGU KEDATANGAN KALIAN UNTUK MENOLONG ISLAM
Sekarang ini, kami semua sedang menunggu-nunggu datangnya hari saat para aktivis Islam, khususnya para pemuda, datang bersemangat memperjuangkan Islam dan kaum muslimin. Kami menunggu-nunggu hari semacam hari Abu Bakar saat terjadi murtad massal, semacam hari Khalid saat perang Yarmuk, semacam hari Sa’ad saat perang Qadisiyah, semacam hari Shalahuddin saat perang Hithin, semacam hari Qathaz saat perang ‘Ain Jalut, semacam hari Muhammad al-Fatih saat penaklukan Konstantinopel, dan semacam hari Sulaiman al-Halbi saat menghabisi Klepper.
Kami ingin ~walau sesaat sebelum kami dijemput maut~ mata kami dapat merasakan sejuknya menyaksikan khilafah islamiyah, menyaksikan panji-panjinya berkibar di Timur dan Barat, menyaksikan payungnya yang teduh memenuhi dunia dengan keadilan, kebenaran, cahaya, dan petunjuk. Kami inginkan hari saat Khalifah memandang awan lalu berkata, “Wahai awan, pergilah ke timur atau ke barat, kamu pasti akan menjumpaiku di sana!”
Kami tunggu saat kata-kata itu nyata adanya. Saat kekuasaan Islam sampai ke Timur dan Barat, sampai ke seluruh pelosok negeri. Saat kekuasaan khilafah memenuhi setiap jengkal bumi ini dengan kebaikan, hidayah, dan cahaya.
Kami benar-benar merindukan suatu hari saat Allah menaklukkan Roma ~ibukota Nasrani di jagad ini~ bagi kaum muslimin, hal mana Rasulullah saw telah mengabarkan bahwa kota ini akan ditaklukkan setelah ditaklukkannya Konstantinopel.
Konstantinopel atau Istambul telah takluk di tangan Sultan Muhammad Al-Fatih. Beliau berhak menyandang pujian Nabi dalam hadits yang terkenal:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ اْلأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Panglima perangnya adalah sebaik-baik panglima, dan pasukannya pun sebaik-baik pasukan.
Saat itu Sultan al-Fatih telah bersiap-siap untuk menaklukkan Roma. Dan Eropa pun diliputi kegelisahan, ketakutan, dan kengerian. Hanyasaja, ajal menjelang sang Sultan sebelum proyek agung ini terealisir.
Bukti bahwa Eropa diliputi kegelisahan dan kengerian adalah bahwa gereja- gereja di Eropa pada umumnya dan Roma pada khususnya terus-menerus membunyikan loncengnya selama tiga hari berturut-turut sebagai tanda suka cita menyambut kematian Sultan muslim yang agung itu.
Kami menunggu hari semisal hari-hari itu dengan sangat cemas dan gelisah.
Sesungguhnya kemenangan Islam adalah harapan tertinggi yang menjadi cita-cita seseorang, supaya matanya menjadi sejuk di dunia karenanya.
Hari ini kita merasakan bahwa bukanlah istri shalihah yang dimaksud dengan kebaikan di dunia yang termuat di dalam firman-Nya
يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً
al-Baqarah : 201
Hanyasanya itu adalah kemenangan Islam dan dien ini ~sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama~. Sungguh, kebaikan yang tak tertandingi. Kebaikan yang menepis segala kelesuan, kegundahan, dan kesedihan, meski salah seorang dari kita mesti kehilangan keluarga, anak, harta, atau kedudukannya di jalan ini.
Kami benar-benar merindukan hari-hari semisal hari kala Allah memenangkan dien-Nya, memuliakan wali-wali-Nya, dan hizb-Nya melebihi kerinduan kami kepada istri-istri kami, anak-anak kami, bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, hal mana kami sudah tidak berjupa dengan mereka selama bertahun-tahun.
Kami benar-benar merindu sejuknya mata kami oleh hari semacam hari ‘Uqbah bin Nafi’, saat ia tegak di atas pelana kudanya, menceburkan kudanya di tepian Samudera Atlantik seraya berkata,”Demi Allah, sekiranya aku tahu bahwa di seberang sana ada daratan, niscaya aku akan berperang di sana di jalan Allah!”
Lalu ia menatap langit seraya berkata, “Wahai Rabbku, jikalau bukan karena lautan ini, niscaya aku akan ke seberang sebagai mujahid di jalanmu”
Kami benar-benar menunggu hari-hari itu.
Adakah kalian memenuhinya?
Adakah kalian mengabulkannya?

AMAL ISLAMI BUKANLAH AKTIVITAS SESAAT
Amal islami bukanlah aktivitas yang cukup dikerjakan di saat Anda memiliki waktu luang dan bisa Anda tinggalkan saat sibuk. Tidak! Amal islami terlalu agung dan mulia jika mesti diperlakukan begitu.
Perkara intima` kepada dien ini tentu saja jauh lebih serius daripada yang seperti itu. Islam tidak seperti klub ilmiyah, klub olahraga, atau kepanduan yang cukup dikerjakan saat masih menjadi pelajar/ mahasiswa, lalu bisa ditinggalkan saat telah lulus. Atau cukup dikerjakan saat masih bujang dan boleh ditinggalkan setelah menikah. Atau Anda curahkan waktu sebelum Anda mendapat pekerjaan dan setelah mendapatkannya, atau Anda membuka klinik, apotek, biro konsultasi, atau Anda disibukkan dengan pelajaran-pelajaran khusus, maka Anda boleh meninggalkannya atau meremehkannya. Sekali-kali tidak! Amal islami bukanlah seperti itu.
Perkara amal islami dan intima` kepadanya sama dengan perkara ‘ubudiyah kepada Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, semestinya seorang muslim tidak melepaskan diri dari amal islami kecuali bersamaan dengan keluarnya ia dari kehidupan ini.. Bukankah Allah telah berfirman
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
al-Hijr : 11
Sampai datang kematian!!!
Al-Qur`an tidak mengatakan ‘Sembahlah Rabbmu sampai kamu keluar dari Universitas atau saat menjadi pegawai atau sampai kamu menikah atau sampai kamu membuka klinik atau sampai kamu membuka biro konsultasi dst.”
Para pendahulu kita, as-salafus shalih memahami benar hakekat yang sederhana namun sangat urgen dalam dienullah ini.
Kita dapati ‘Ammar bin Yasir, beliau berangkat perang saat usia beliau telah mencapai 90 tahun. Perang! Bukan berdakwah, mengajar orang-orang, atau beramar makruf nahi munkar. Beliau berangkat perang saat tulang-belulang beliau sudah rapuh, tubuh telah renta, rambut telah memutih, dan kekuatan sudah jauh berkurang.
Adalah Abu Sufyan masih membakar semangat para pasukan untuk berperang saat beliau berumur 70 tahun.
Begitu pun dengan Yaman, Tsabit bin Waqasy. Keduanya tetap berangkat ke medan Uhud meski telah lanjut usia dan meski Rasulullah menempatkan mereka bersama kaum wanita, di bagian belakang pasukan.
Mengapa kita mesti pergi jauh?! Bukankah Rasulullah saw telah melaksanakan 27 pertempuran . Semua peperangan itu beliau alami setelah usia beliau lewat 54 tahun. Bahkan perang Tabuk, perang yang paling berat bagi kaum muslimin, diikuti dan dipimpim langsung oleh beliau saat umur beliau telah mencapai 60 tahun.
Bagaimana dengan keadaan kita hari ini?! Kita dapat saksikan banyak sekali ikhwah yang meninggalkan amal Islami setelah lulus kuliah, menikah, sibuk dengan perdagangan, tugas, dlsb.
Kepada mereka, “Sesungguhnya urusan dien dan Islam itu bukan urusan main-main.”
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ
an-Nur : 15
Saya katakan kepada mereka, “Mana janji kalian?! Janji yang telah kalian ikrarkan di hadapan Allah dan di hadapan orang banyak dulu?!”
وَكَانَ عَهْدُ اللهِ مَسْئُولاً
al-Ahzab : 15
Mana sajak pendek yang selama ini sering kalian perdengarkan?!

فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قُمْنَا
نَبْتَغِيْ رَفْعِ اللِّوَاءِ
مَالِحِزْبٍ قَدْ عَمِلْنَا
نَحْنُ لِلدِّيْنِ فِدَاءُ
فَلْيَعُدْ لِلدِّيْنِ مَجْدُهُ
أَوْ تُرَقْ مِنَّا الدِّمَاءُ
Di jalan Allah kami tegak berdiri
Mencitakan panji-panji menjulang tinggi
Bukan untuk golongan tertentu, semua amal kami
Bagi dien ini, kami menjadi pejuang sejati
Sampai kemuliaan dien ini kembali
Atau mengalir tetes-tetes darah kami
Saya katakan kepada mereka, “Sesungguhnya akibat dari pengunduran diri adalah keburukan. Apalagi bagi orang yang telah mengerti kebenaran lalu berpaling darinya. Bagi orang yang telah merasakan manisnya kebenaran lalu tenggelam dalam kebatilan. Sesungguhnya membatalkan janji kepada Allah termasuk dosa yang terbesar di sisi Allah dan di pandangan orang-orang yang beriman.”
فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ
al-Fath : 10
Siapa pun yang dikuasai oleh nafsu ammarah bissu`, ditipu oleh setan, atau mengundurkan diri dari medan amal islami hendaklah merenungkan firman Allah ini
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ أَتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُوْنَنَّ مِنَ الصَّالِحِيْنَ فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوْا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُوْنَ
at-Taubah : 75-76
Kemudian hendaknya pula merenungkan firman Allah tentang hukuman yang akan diterima
فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِيْ قُلُوْبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوْهُ وَبِمَا كَانُوْا يُكَذِّبُوْنَ
at-Taubah : 77
Sesungguhnya perkara amal islami adalah perkara yang sangat urgen.. Sayangnya, sebagian mereka yang lemah imannya ~beberapa di antaranya bergabung saat masih kuliyah~ beranggapan bahwa amal islami itu tak ubahnya dengan sarikat dagang untuk satu masa tertentu. Begitu masa kuliyah selesai, selesai pulalah amal islami. Atau mereka menyangka masa amal islami adalah masa terjalinnya persahabatan atau pertemanan saat masih kuliyah yang selesai begitu saja saat lulus. Semuanya selesai, tuntas!
Saya sebut mereka di sini sebagai orang-orang yang lemah imannya karena biasanya penyakit itu bermula dari lemahnya iman. Sakitnya hati, lemahnya semangat, dan tidak mengakarnya iman, terletak di dalam hati, bukan di akal. Seringnya ~bahkan selalunya~ kerusakan itu terletak pada hati bukan akal; disebabkan oleh bolongnya iman, bukan kurangnya ilmu; karena syahwat, bukan syubhat; dan buah dari cinta dunia, bukan kurangnya kesadaran. Maka siapa yang ingin menjalani terapi atau berobat, semestinya memperhatikan hatinya, membersihkannya dari berbagai kotoran dan mengobati penyakit-penyakitnya iu.
Sayangnya, sedikit sekali dokter yang ada di zaman ini. Tentu saja maksud saya adalah dokter untuk penyakit hati. Kalau dokter penyakit jasmani, banyak sekali jumlah mereka, namun parah sekali juga penyakit yang menimpa mereka.
Sesungguhnya seseorang yang berbalik dari kebenaran setelah mengetahuinya adalah seorang yang mendahulukan kelezatan sesaat dan kesenangan semusim serta mencari kegembiraan dengan membayar kesedihan sepanjang masa, menceburkan diri ke sumur maksiat, dan berpaling dari cita-cita mulia kepada keinginan rendah lagi hina.. Selanjutnya ia akan berada di bawah kungkungan setan, di lembah kebingungan, dan terbelenggu di penjara hawa nafsu.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, saya mendapati keadaan orang-orang seperti mereka jauh lebih buruk daripada kaum muslimin pada umumnya. kiranya itulah hukuman dari Allah bagi mereka …
Bagai rajawali yang telah rontok bulu-bulunya
Setiap kali melihat burung terbang ia melihat segala kegagalannya.

JUMLAH BANYAK KERJA SEDIKIT
Hari ini kita melihat jumlah ikhwah multazimin yang banyak sekali (di Mesir, pent.), sampai-sampai kita bisa melihat di satu kota, ada ratusan ikhwah di sana! Meski jumlah mereka luar biasa, namun jika Anda mencoba untuk menghitung jumlah personal yang aktif, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat, sehingga pantas disebut sebagai aktivis Islam, niscaya anda akan mendapati jumlah mereka tidak mencapai seratus orang. Bahkan Anda dapat menghitung dengan mudah dan menyebutkan nama-nama mereka..
Lalu, mana kerja, usaha, dan sumbangsih sekian ribu multazim itu?! Mana dakwah, hisbah, dan jihad mereka?!
Mereka mengambil peran sebagai penonton, tak lebih. Mereka merasa cukup sekedar telah berpindah dari jahiliyah kepada Islam.. Setelah itu, mereka berhenti di titik ini, tidak ingin meninggalkannya, tidak berhasrat untuk meningkat ke titik berikutnya, bahkan untuk sekedar mempersiapkan diri mereka sendiri sehingga nantinya mereka sanggup melangkah dan memberikan sumbangsih dalam pelbagai bidang amal islami.
Jika salah seorang dari mereka Anda tanyai; apa sumbangsih mereka kepada Islam, apa amal yang telah mereka kerjakan di jalan dien ini, dan apa yang telah mereka persembahkan kepada jamaah sejak mereka beriltizam sampai hari ini, mereka pun diam seribu bahasa.
Kita dapati mereka merasa cukup dengan menjadi pendengar saja. Merasa cukup dengan menghadiri halaqah, pertemuan, muktamar, membaca edaran, dan buletin yang diterbitkan, lalu sudah.
Atau menjadi seorang yang pasif tanpa sumbangsih.
Dilihat dari sisi amal islami mana pun, mereka tetap menjadi sosok yang benar-benar tidak serius dalam mempersiapkan diri.. Beberapa tahun berlalu mereka hanya menyelesaikan sebuah atau dua buah buku Islam yang semestinya diselesaikan dalam waktu ~paling lama~ satu pekan oleh orang-orang yang serius dan tekun.
Problem seperti inilah yang membuat tak tergalinya berbagai potensi untuk Islam dan dien. Potensi yang semestinya tampak nyata di semua bidang amal islami; dakwah, hisbah, dan jihad…
Orang-orang yang hanya menyumbangkan sisa waktu, membelanjakan sedikit sekali dari kekayaan, serta mengerahkan upaya yang sangat minim untuk Islam ini mestinya tahu bahwa ‘Allah itu Mahabaik, tidak menerima kecuali yang baik’ . Sebagaimana Allah tidak menerima sedekah yang buruk, Allah pun tidak menerima amal yang buruk, jika itu sengaja dipilih untuk Islam.
وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ
al-Baqarah : 276
Sesungguhnya yang dikehendaki oleh Islam adalah sebagian besar waktumu, hampir seluruh hartamu, dan segarnya masa mudamu. Islam menghendaki dirimu, seluruhnya. Islam menghendakimu saat kamu bertenaga, bukan saat telah loyo. Islam menghendaki masa mudamu, masa kuatmu, masa sehatmu, dan masa perkasamu, bukan masa rentamu. Islam menghadapi semua yang terbaik, termulia, dan teragung darimu.
Tidakkah kau lihat Abu Bakar ash-Shiddiq ra menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dan demi dakwah Islam, lalu ketika Rasulullah saw bertanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?”, beliau menjawab, “Aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.”
Tidakkah kau lihat ‘Utsman bin ‘Affan membekali seluruh pasukan perang Tabuk sendirian ? Coba bayangkan, seorang diri membekali seluruh pasukan perang; senjata, perlengkapan, bekal, kuda, onta, dan kebutuhan logistiknya.. Padahal jumlah pasukan saat itu lebih dari 10.000 personil.
Coba bandingkan sumbangsih agung ini dengan realita kita hari ini. Kita bisa mendapati banyak orang islam yang kaya hari ini ~bahkan dari kalangan multazimin~ namun kita kesulitan untuk mendapati seseorang yang menanggung seluruh ‘budget’ dakwah. Saya katakan ‘dakwah’ bukan ‘jihad’. Mengapa? Sebab jihad membutuhkan harta yang tak terbatas.
Kita bisa mendapati seorang ikhwah yang bekerja di salah satu negara di kawasan Teluk selama empat atau lima tahun, hidup berkecukupan, dan ia pun tahu persis apa yang dibutuhkan oleh amal islami dan saudara-saudaranya. Ia pun tahu bahwa kebanyakan keluarga ikhwah yang diuji di jalan Allah ~jumlah mereka ribuan~ sangat membutuhkan bantuan. Namun demikian, ia tidak berpikir untuk berjihad dengan hartanya di jalan Allah ~setidaknya sebagai ganti atas ketidakhadirannya untuk berjihad dengan nyawanya~ selama sekian tahun itu. Ia pun tidak berpikiran untuk membantu keluarga para mujahid, meninggalkan bagi keluarga mereka sesuatu yang baik. Ia tidak memikirkan hal itu sedikit pun. Jika ada yang mengingatkannya ia pun menginfakkan beberapa rupiah yang tidak cukup sekedar untuk mengusir rasa lapar.. Jumlah yang lebih baik ditolak dari pada diterima… Jumlah yang jauh dari jumlah yang dikeluarkannya untuk keperluan bahan bakar kendaraannya dalam satu hari!!
Sesungguhnya Islam membutuhkan orang yang memberikan segalanya untuk diennya; kehidupannya, waktunya, hartanya, tenaganya, ruhnya, rumahnya, mobilnya, dan semua yang dimilikinya. Kita menghendaki seseorang yang ‘menjual dirinya kepada Allah’ dengan keutuhan makna kalimat ini. Kita menghendaki seseorang yang setiap harinya membawa sesuatu yang baru untuk dipersembahkan kepada Islam.
Bukankah Mush’ab bin Umeir, seorang pemuda perlente yang selalu harum dan mengenakan pakaian terbaik, seorang pemuda yang ditunggu-tunggu oleh setiap gadis Quraisy karena ketampanannya, penampilannya, kemuliaannya, dan nasabnya; bukankah ketika ia memeluk Islam ia persembahkan semuanya, ia berikan semuanya, tanpa ada sesuatu pun yang disimpannya? Sampai-sampai ia memakai baju yang penuh tambalan saat hidup, dan di saat mati, kaum muslimin tidak mendapati kain untuk mengkafaninya?
Sepanjang hidupnya Mush’ab selalu menghadirkan sumbangsih untuk Islam di bidang dakwah dan jihad. Ia adalah da’i Islam yang pertama di Madinah. Ia adalah orang yang menyebabkan kebanyakan penduduk Madinah mendapatkan hidayah. Ia adalah peletak batu pertama bangunan daulah Islam di Madinah. Selain itu ia juga seorang pejuang agung, pembawa panji di medan Uhud, sekaligus salah satu syuhada` teragung di sana… Itulah sumbangsih yang sebenarnya bagi Islam, dien, dan jamaah Islam.
Selayaknya setiap muslim bertanya kepada dirinya sendiri setiap waktu…
Berapa orang yang telah mendapatkan hidayah dari Allah dengan perantara dirinya pekan ini?
Berapa desa yang telah dimasukinya guna menyeru penduduknya kepada Allah?
Sudahkah kerabat dekat, tetangga, dan kedua orang tua didakwahi?
Adakah langkah ini maju menuju pemahaman dan pengamalan Islam yang lebih baik?
Berapa banyak harta yang telah diinfakkan bagi kaum muslimin di jalan Allah dalam sepekan ini?
Berapa banyak keluarga dari keluarga mereka yang tengah diuji sudah mendapatkan bantuan; tenaga, harta, materi, dan dorongan moral?
Berapa banyak keluarga syuhada yang telah dipenuhi kebutuhannya?
Berapa malam dihabiskan untuk memikirkan amal Islami secara umum, di kota atau desa tempat tinggal secara khusus? Atau kota dan desa terdekat?
Berapa kali telah beramar makruf nahi munkar?
Berapa kali telah berperang menghadapi musuh-musuh Islam dan meninggalkan sesuatu yang berarti pada mereka?!
Berapa kali memperjuangkan hukum Allah dan membela kaum muslimin; darah dan kehormatan mereka?
Berapa kali mengunjungi orang sakit dan mengajak mereka kepada Islam? Atau memperbaiki hubungan yang renggang antara dua orang yang tengah berseteru? Atau mengunjungi ikhwah fillah? Atau menyerunya kepada Allah dalam pekan ini?… Dan masih banyak lagi pertanyaan untuk berintrospeksi dari waktu ke waktu.
Dengan menjawab secara jujur, Anda akan tahu seberapa serius kelalaian dan peremehan yang Anda lakukan berkenaan dengan hak Allah Dan dengan itu pula Anda dapat mencoba untuk memperbaikinya sebelum Allah terlanjur menjatuhkan hukuman-Nya kepadamu dan menghalangimu dari kemuliaan beramal bagi dien-Nya dan menjadi bagian dari jalan (Yusuf : 108) dan jalan al-(Baqarah : 207)
Bagaimana pendapat anda jika ada seorang buruh pabrik, ia tidak mengerjakan apa-apa, tidak menghasilkan apa-apa, kerjanya cuma mengisi daftar hadir di pagi hari lalu pulang di sore hari. Ia tidak menghabiskan waktunya di pabrik bersama teman-temannya yang bekerja dengan giat penuh semangat. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemilik pabrik terhadap buruh yang satu ini? Pasti ia akan memecatnya seketika.. begitu pun dengan ikhwah yang tidak memahami Islam selain memakai baju gamis dan memanjangkan jenggot, ia pasif dan tidak mempersembahkan sesuatu pun untuk Islam, kalau pun memberi hanya sedikit atau yang tidak baik..
Beberapa gelintir pemuka dan ikhwah yang aktiv untuk Islam dengan giat dan sungguh-sungguh, sekali-kali tidak akan mampu menegakkan daulah Islam sendirian, seberapa pun usaha dan tenaga yang mereka kerahkan. Pun tidak akan mampu mengemban seluruh beban amal islami di negeri yang luas ini. Apalagi semuanya tahu tindakan yang diambil oleh thaghut untuk menghadapi para aktivis Islam. Tindakan yang menjadikan sekian ikhwah dihadapkan pada ujian yang berat dari waktu ke waktu, sehingga mereka meninggalkan ruangan kosong yang semestinya diisi. Operasi yang mereka lakukan membuat gerakan ikhwah tersendat dan terbatas, mengharuskan setiap ikhwah untuk lebih mengerahkan tenaga lagi, lebih meningkatkan diri dalam medan amal islami dan mengupayakan sumbangsih supaya ia lebih mampu mengemban tanggung jawab, tanggung jawab amal Islami, dan belajar bagaimana berdakwah, mentarbiyah, menegakkan hisbah, jihad, dan menggerakkan orang lain, dan semua skill yang dibutuhkan.
Seorang ikhwah selayaknya tidak berdiam diri di rumah, mengandalkan orang lain yang akan mengambil peran itu. Sebab siapa yang akan datang?! Semestinya ia berupaya ~semampunya~ untuk melaksanakan berbagai bentuk amal islami semuanya dengan semangat, giat, kuat, responsif, tekun, dan serius. Agar terbukti kata seorang penyair
تَرَى الْجُمُوْعَ وَلَكِنْ لاَ تَرَى أَحَدًا
وَقَدْ تَرَى هِمَّةَ اْلآلاَفِ فِيْ رَجُلٍ
Kau lihat sekumpulan tetapi tak kau lihat seseorang
Kadang kau lihat semangat seribu orang ada pada seseorang
Sesungguhnya hari ini Islam membutuhkan seseorang yang mengorbankan segalanya, membelanjakan semua miliknya di jalan Allah, dan menyerahkan seluruh umurnya lillah, untuk memenangkan dien-Nya..
Hari ini Islam membutuhkan seseorang yang berkata dari nuraninya seperti ucapan Sa’ad bin Mu’adz kepada Rasulullah saw saat perang Badar; hari berat pertama yang dilalui oleh daulah Islam yang baru saja lahir di Madinah Munawwarah. Sa’ad berkata, “Silakan melangkah, wahai Rasulullah, ke mana pun Anda suka. Kami akan bersama dengan Anda. Demi yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sekiranya Anda bawa kami ke tepi laut lalu Anda menceburkan diri ke dalamnya, niscaya kami semua akan menceburkan diri kami bersamamu, tiada satu pun yang akan ketinggalan. Sedikit pun kami tidak enggan untuk Anda pertemukan kami dengan musuh-musuh kita esok hari.”
Ia juga berkata, “Sambunglah tali siapa yang Anda suka, putuskan tali siapa yang Anda suka, dan ambillah harta kami sesuka Anda , sesungguhnya apa yang Anda ambil lebih kami sukai daripada yang Anda tinggalkan”
Sungguh kalimat di atas adalah kalimat agung yang pernah diucapkan oleh seorang tentara kepada komandannya sepanjang sejarah. Kalimat yang dialiri kehidupan, gerakan, dan kejujuran. Meski masa telah berlalu lebih dari 14 abad. Masya Allah bahwa Dia mengabadikan pengaruhnya sampai hari kiamat tiba. Sesungguhnya itulah ungkapan jujur dari sesuatu yang menjalar dalam rasa dan jiwa sekelompok kecil orang-orang beriman dari kalangan Anshar di bawah kepemimpinan seorang yang agung, Sa’ad bin Mu’adz. Kalimat yang telah diteriakkan oleh hati Sa’ad sebelum diteriakkan oleh lisannya yang jujur. Dan kalimat ini pun membawa pengaruh yang sangat dalam diri Rasul mulia, sang panglima saw. Beliau benar-benar berbahagia dan bertambah semangat dalam berperang dikarenakan perkataan Sa’ad ini. Beliau bersabda, “Maju dan bergembiralah! Sesungguhnya Allah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok. Demi Allah, kini aku ~seakan-akan~ melihat saat kekalahan mereka.”
Islam hari ini membutuhkan pasukan yang hati dan lisannya meneriakkan teriakan Sa’ad bin Mu’adz di setiap tempat. Tentu saja lengkap dengan kejujurannya. Pasukan yang dari nurani mereka terucap kata-kata pahlawan perkasa Miqdad bin ‘Amru, tertuju kepada panglima kebenaran. Saat kepada Rasulullah saw Miqdad berkata, “Wahai Rasulullah, melangkahlah ke arah yang ditunjukkan Allah kepada Anda, kami selalu bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan ucapan Bani Israil kepada Musa ‘Pergilah, kamu bersama Rabbmu, lalu berperanglah! Kami menunggu di sini.’ (al-Maidah : 24) kami akan katakan, ‘Pergilah, kamu bersama Rabbmu, lalu berperanglah! Sungguh, kami akan berperang bersamamu!’”
Katakan kepada mereka, “Kami tidak akan duduk di bangku cadangan ketika kalian beramal di jalan Allah; berdakwah, beramar makruf nahi munkar, menyuarakan kebenaran, dan berjihad fi sabilillah. Kami akan selalu bersama kalian, sesulit dan seberat apa pun keadaannya.. Kami tidak akan pernah meninggalkan kalian berperang sendirian. Kami akan selalu berperang bersama kalian, mengerahkan seluruh kekuatan, membelanjakan seluruh kekayaan, dan memberikan sumbangsih bersama kalian. Melangkahlah sesuai perintah Allah dan Rasul-nya! Melangkahlah sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulnya!..”
Hari ini Islam menghendaki setiap muslim berujar kepada dirinya sendiri, “Apakah pantas aku beristirahat, sementara saudara-saudaraku berpayah-payah di jalan Allah? Apakah pantas aku tidur nyenyak sementara saudara-saudaraku disiksa di jalan Allah? Apakah pantas aku tinggalkan amal Islami sementara aku melihat kesulitan berat dan peperangan hebat melawan musuh sedang dihadapi oleh umat Islam?”
Islam menghendaki seseorang yang mengucapkan kata-kata Abu Khaitsamah saat ia terlambat menyusul Rasulullah saw ke medan Tabuk, “Rasulullah saw dibakar terik mentari, angin badai, dan panas yang menyengat. Abu Khaitsamah di bawah naungan sejuk, makanan yang tersaji, dan istri yang cantik, menunggui hartanya. Sungguh ini sangat tidak pantas.”
Kalimat-kalimat yang agung ini mestinya digumamkan oleh setiap muslim, khususnya ikhwah multazim. Kepada diri sendiri selayaknya ia berkata, “Sebagian dari saudara-saudaraku seiman kini disiksa, sebagiannya lagi diusir dan tidak mendapatkan tempat tinggal, dan sebagian yang lain dibunuh dan diintimidasi. Sedangkan aku; aku bergelimang kenikmatan, aku makan apa yang aku mau, aku minum minuman yang paling menyegarkan, di ruangan yang sejuk penuh dengan kenikmatan. Aku tidak sedikit pun memberikan sumbangsih untuk Islam. Sebaliknya, aku justru meninggalkan saudara-saudaraku menanggung semua beban berat itu! Ini benar-benar tidak pantas dan tidak adil. Demi Allah, aku akan menyusul saudara-saudaraku, berjihad bersama mereka, mengerahkan segenap upaya di jalan Allah bersama mereka. Aku akan merasakan apa yang mereka rasakan. Aku akan menanggung beban sebagaimana mereka pun menanggungnya..”
Sesungguhnya Islam menginginkan kalian meneladani Rasulullah saw yang diperintah oleh Allah untuk mengatakan, (asy-Syarah : 7)
Maksudnya, jika telah menyelesaikan satu perintah hendaknya berpayah-payah lagi untuk mengerjakan perintah yang lain..
Betapa hari ini kita membutuhkan arahan semacam ini. Arahan yang jika diimplementasikan dalam amal Islami, niscaya kita akan dapat melangkah dengan sangat cepat menuju jalan kemenangan dan kejayaan. Arahan yang bunyinya, “Tidak ada waktu istirahat bagi seorang muslim atau program untuk itu. Jika kamu telah menyelesaikan satu perintah, segera kerjakan yang lainnya. Jika kamu telah menyelesaikan suatu amal untuk Islam, jangan sampai tanganmu berhenti karena suatu sebab atau yang lainnya semacam ‘ujub, membicarakannya, merenungkannya, membanggakannya, atau merasa cukup dengannya. Sebaliknya, segeralah berpayah-payah mengerjakan amal yang lainnya, begitu seterusnya.. Sesungguhnya jika kereta amalmu untuk Islam telah berjalan, jangan sekali-kali menghentikannya, walau sesaat karena sesuatu hal. Jika kamu melakukannya dikhawatirkan kereta itu tidak dapat berjalan lagi selamanya, dan kalau pun berjalan, ia akan berjalan dengan susah payah. Sesungguhnya kebaikan itu akan menunjukkan kepada kebaikan yang lain, ketaatan itu akan mengajak kepada ketaatan yang lain, dan kesalehan itu akan menghantarkan kepada kesalehan yang lain. Begitu pula halnya dengan kemalasan dan menganggur.”
Ingatlah selalu, kamu ini berada di salah satu garis perbatasan Islam. Jangan sampai Islam diserang dari arahmu. Jangan sekali-kali lengah akan kedudukanmu walau sesaat. Jika kamu melakukannya, sungguh, musuh akan menyergapmu, membunuhmu, dan membunuh orang-orang yang bersamamu, juga yang ada di belakangmu!
Barangsiapa tidak menyirami kebunnya sekali atau beberapa kali, niscaya akan rusaklah buah yang ditanamnya. Karena itulah, seorang ikhwah semestinya menyambung malamnya, siangnya, paginya, sorenya, musim panasnya, dan musim dinginnya dengan amal di jalan Allah..
Bukankah Rasulullah saw pun beperang 27 kali setelah usia beliau melebihi 50 tahun. Itu belum ekspedisi-ekspedisi yang hendak beliau pimpin langsung, jika tidak khawatir akan memberatkan para sahabatnya; sebagaimana tersebut di dalam hadits … Saya pernah mencoba meneliti dalam berkas-berkas yang ada tentang orang yang paling banyak jihad dan kesalehannya di zaman kita ini. Saya tidak mendapati seorang pun yang menyamai jihad Rasulullah saw meski itu dihitung sejak ia masih muda, masih belia.
Di mana orang-orang yang meneladani Rasulullah saw?
Di mana para pewaris Nabi itu?
Di mana orang-orang yang berjalan di jalannya, mengikuti jejak langkahnya? Sungguh, ‘Manusia itu bagai seratus onta, hampir-hampir tidak ada satu pun yang dapat dikendarai.’
Keadaannya persis seperti sabda Rasul saw. Dan kami masih terus mencari onta yang dapat dikendarai, yang siap menempuh jalan berat, cuaca yang buruk, dengan makanan yang sedikit, dan beban yang berat.

USAHAKANLAH FAKTOR-FAKTOR KEMENANGAN
Pertolongan Allah itu mahal dan tidak diberikan kepada sebarang muslim. Pertolongan dari Allah hanya diberikan kepada satu thaifah (kelompok) khusus yang memiliki sifat-sifat tertentu. Thaifah ini telah dipersiapkan oleh Allah untuk mendapatkan pertolongan dari-Nya dan untuk melaksanakan perintah-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan tarbiyah khusus sehingga nantinya mereka layak dikuasakan di muka bumi dan sanggup untuk menegakkan dien dengan segala keistimewaan dien itu.
Thaifah yang akan mendapatkan pertolongan inilah thaifah yang disebut oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرَةً عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Akan senantiasa ada satu thaifah dari umatku yang berdiri kukuh di atas kebenaran. Orang-orang yang menghinakan mereka tidaklah mendatangkan mudlarat bagi mereka. Sampai tiba keputusan Allah, mereka tetap dalam keadaan itu.
Dalam memenangkan pertempuran melawan musuh, thaifah yang berdiri kukuh di atas kebenaran ini tidak pernah mendapatkan kemenangan itu dikarenakan jumlah mereka yang banyak. Sebaliknya, jumlah mereka selalu sedikit. Dan sepanjang zaman, ahlul-iman dapat mengalahkan musuh-musuh mereka bukan dengan jumlah dan bekal logistik mereka, tetapi mereka dapat memenangkannya dengan berbekalkan dien ini. Dien yang dengannya Allah memuliakan mereka, seperti yang dikatakan oleh ‘Abdullah bin Rawahah dalam perang Mu’tah.
وَمَا نُقَاتِلُ النَّاسَ بِعَدَدٍ وَلاَ قُوَّةٍ وَلاَ كَثْرَةٍ مَا نُقَاتِلُهُمْ إِلاَّ بِهَذَا الدِّيْنِ الَّذِيْ أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ
Kita tidak memerangi manusia dengan bilangan, kekuatan, dan jumlah kita. Kita hanya memerangi mereka karena dien ini. Dien yang Allah memuliakan kita dengannya.
Bahkan, jika anda memperhatikan semua kancah peperangan antara kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka Anda akan mendapati selalunya jumlah dan perbekalan kaum muslimin jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah dan perbekalan musuh. Kebenaran ada pada Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau menulis surat kepada panglima perangnya, ‘Amru bin ’Ash. Bunyinya, “Semoga keselamatan senantiasa dilimpahkan kepadamu! Suratmu yang mengabarkan bahwa Romawi telah mengumpulkan pasukannya yang jumlahnya sangat banyak telah sampai. Sesungguhnya Allah tidak memberikan kemenangan kepada kita kala bersama Nabi-Nya saw dengan banyaknya perbekalan dan jumlah pasukan. Dahulu, kita pernah berperang bersama Rasulullah saw sedangkan yang kita miliki hanyalah dua ekor kuda. Adapun kita sendiri, waktu itu hanya berjalan di belakang onta. Dalam perang Uhud yang disertai Rasulullah saw pun kami hanya membawa seekor kuda yang ditunggangi oleh beliau saw. Meski demikian, Allah tetap memenangkan dan menolong kita atas orang-orang yang menyelisihi kita. Juga, ketahuilah bahwa manusia yang paling taat kepada Allah adalah orang yang paling benci kepada kemaksiatan. Maka, taatilah Allah dan perintahkan sahabat-sahabatmu untuk mentaatinya!”
Sungguh sunnatullah itu tidak berlaku bagi orang-orang tertentu saja. Baik untuk kemenangan atau pun kekalahan, keduanya ada sebabnya. Barangsiapa diberi taufiq oleh Allah berupa sebab-sebab kemenangan, niscaya Allah akan memenangkannya. Begitu pun sebaliknya, barangsiapa tidak diberi taufiq oleh Allah hendaknya ia tidak mencela selain mencela dirinya sendiri.
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلاَ أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَ بِهِ
An-Nisa` : 123
Jika sebuah jamaah Islam menghajatkan kemenangan atas musuh-musuhnya, maka ia harus memenuhi sebab-sebab datangnya kemenangan. Sama seperti yang dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Memerinci sebab-sebab kemenangan secara detail akan menghabiskan banyak halaman. Karenanya kita hanya akan menyebutkannya secara global. Sebab-sebab yang melatarbelakangi seluruh kemenangan agung yang dicapai oleh para sahabat dan para tabi’in.
Tersebut di dalam sirah, bahwa musuh-musuh para sahabat itu tidak pernah mampu bertahan lama di dalam peperangan melawan mereka. Bahkan ketika Heraclius mendengar kabar bahwa Romawi telah bertekuk lutut, ia berkata, “Celaka kalian! Coba ceritakan tentang musuh yang memerangi kalian itu! Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?!” Mereka menjawab, “Benar..” “Jumlah kalian lebih banyak ataukah sebaliknya?”, tanyanya lagi. “Bahkan jumlah kami berlipat-lipat lebih banyak daripada jumlah mereka di dalam setiap kancah.”, jawab mereka. “Lalu, ada apa dengan kalian sehingga kalian menjadi pecundang?” Salah seorang pembesar mereka menjawab, “Karena mereka semua bangun menunaikan shalat malam, mereka berpuasa di siang hari, mereka menepati janji, mereka beramar makruf nahi munkar, serta mereka saling tolong-menolong. Juga karena kami semua meminum arak, berzina, melanggar yang haram, menyelisihi janji, berbuat ghashab, berbuat zhalim, menyebarkan perseteruan, meninggalkan hal-hal yang diridlai oleh Allah, serta membuat kerusakan di muka bumi.” “Benar yang kamu katakan.”, komentar Heraclius.
Dengan kecerdasannya seorang pembesar Romawi telah menyimpulkan tentang sebab-sebab kemenangan dan kekalahan. Ia menjelaskan bahwa pasukan muslimin telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan kemenangan, total. Sebaliknya, Romawi telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan kekalahan, total. Maka Allah pun memberikan kemenangan bagi yang berhak dan menimpakan kekalahan bagi musuhnya.
Seorang mata-mata Romawi yang dikirim untuk mencari tahu kabar dan keadaan kaum muslimin, menguatkan pernyataan di atas. Waktu itu menjelang penaklukan kota Syam, sepulang dari memata-matai pasukan muslimin ia melaporkan semuanya. Ia berkata, “Mereka adalah pendeta di waktu malam dan ahli menunggang kuda di siang hari. Jika salah seorang anak raja mereka mencuri, mereka tetap memotong tangannya. Jika ia berzina ia pun akan dirajam, demi menegakkan kebenaran pada diri mereka.” Petinggi yang dilapori pun berkata, “Apabila yang kamu katakan itu benar, perut bumi jauh lebih baik daripada berjumpa mereka di permukaannya. Yang aku inginkan sekarang hanyalah, Allah membiarkanku bertempur melawan mereka, lalu Dia tidak menolongku, pun tidak menolong mereka.”
Ada juga salah seorang pengikut setia Thulaihah al-Asadiy yang menceritakan tentang sebab-sebab kemenangan dan kekalahan. Ketika Thulaihah melihat banyak sekali pasukannya yang menjadi pecundang di medan perang, ia berkata, “Celaka! Apa yang membuat kalian kocar-kacir begini?!” Salah seorang pengikut setianya itu menjawab, “Saya beritahukan kepadamu apa yang membuat kita kalah total. Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka yang menginginkan sahabatnya terbunuh lebih dahulu. Kami benar-benar mendapati suatu kaum yang semuanya ingin kematiannya datang lebih dulu daripada kematian sahabatnya!”
Ada pula seorang mata-mata Romawi yang diutus oleh penguasa Damaskus. Ketika itu pasukan muslimin datang dari arah Yordania. Mata-mata itu berkata, “Saya datang kepada Anda usai berjumpa dengan kaum yang tubuh mereka kurus kering, mereka mengendarai kuda-kuda pilihan, di malam hari mereka bagai pendeta, dan di siang hari mereka adalah penunggang kuda nan tangkas... Seandainya Anda mengajak bicara orang yang ada di samping Anda, niscaya ia tidak memahami apa yang mereka katakan karena begitu gegap gempita suara mereka oleh bacaan al-Qur`an dan dzikir.” Lalu penguasa Damaskus itu menoleh kepada sahabat-sahabatnya seraya berkata, “Mereka mengamalkan sesuatu yang tidak mungkin kalian mampu melakukannya.”
Setelah kita sama-sama mengerti keadaan tiap-tiap personal pasukan Islam, semoga Anda bisa mengerti bagaimana mereka meraih kemenangan demi kemenangan dan apa yang menjadi sebab dari semua itu.
Di dalam Tarikh at-Thabariy disebutkan, “Ketika kaum muslimin menaklukkan Madain mereka mengumpulkan semua harta rampasan perang. Ada seorang laki-laki membawa wadah untuk mengumpulkannya lalu ia serahkan kepada yang bertanggungjawab untuk selanjutnya dibagi. Orang-orang bertanya kepadanya, ‘Wow, kami belum pernah melihat yang seperti itu! Dari apa yang kami kumpulkan, tidak ada sesuatu pun yang senilai dengannya atau bahkan mendekatinya. Apakah kamu mengambilnya barang sebuah?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Demi Allah, jika bukan karena Allah aku tidak akan mengumpulkannya.’ Maka orang-orang pun mengerti bahwa orang itu bukan sembarang laki-laki. Mereka bertanya, ‘Siapakah Anda ini?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan kepada kalian karena aku khawatir akan pujian. Pun tidak akan kuberitahukan kepada selain kalian karena aku khawatir akan sanjungan. Sungguh, aku memuji Allah dan ridla terhadap pahala dari-Nya.’ Lalu mereka menyuruh seseorang untuk membuntutinya sampai ketika ia telah berkumpul dengan teman-temannya, suruhan itu bertanya kepada mereka. Laki-laki itu adalah ‘Amir bin ‘Abdu Qais.”
At-Thabariy juga menyebutkan, “Ketika pedang, ikat pinggang, dan mahkota Kisra diserahkan kepada ‘Umar ra, beliau berkata, ‘Sungguh, kaum yang menyerahkan semua ini adalah kaum yang benar-benar beramanah.’ Mendengar hal itu ‘Ali ra berkata, ‘Sesungguhnya Anda bersikap ‘iffah (menjaga diri) sehingga semua rakyat pun memilih sikap yang sama.’”

MARI BERSIKAP SHIDIQ KEPADA ALLAH
Jika di dalam dakwahnya seorang hamba bersikap shidiq, jujur kepada Rabbnya dan ikhlas karena-Nya, sungguh itu akan berimplikasi terhadap dakwahnya dan orang-orang yang diserunya. Mereka akan dapat menyaksikan shidiq sang da’i dengan mata kepala mereka serta merasakannya dengan hati dan jiwa mereka. Mereka dapat menyaksikan hal itu dalam jiwa tenang milik sang da’i yang dipenuhi dengan ketentraman, kerelaan, dan kekhusyu’an. Mereka dapat menyaksikan semua itu dari pancaran wajahnya. Kedua matanya jujur, lisannya dan kedua bibirnya juga jujur. Bahkan senyumannya pun demikian. Wajahnya… dalam keadaan apa pun tampak kejujuran menyeruak darinya.
Objek dakwah akan melihat pada wajah da’i yang shidiq kepada Rabbnya kharisma, wibawa, cahaya, dan sinar terang. Mereka akan melihat bahwa seluruh anggota badannya telah diliputi oleh kekhusyu’an dan ketenangan. Sampai-sampai seorang mad’u akan melihat wajah sang da’i lalu berkata, ‘Inilah seorang yang jujur.’ sebelum ia mendengarkan penuturannya, sebelum ia berbincang-bincang dengannya, sebelum ia berdiskusi dengannya…
Bukankah pernah seseorang datang menemui Rasulullah saw lalu bertanya kepada beliau, “Andakah Muhammad bin Abdullah?” Beliau menjawab, “Akulah yang mereka tuduh-tuduh itu.” Kemudian orang itu berkata, “Demi Allah, ini bukanlah wajah seorang pendusta!”
Wahai saudaraku seislam, seberapa banyak Anda mengambil warisan Nabi saw ~kejujuran, keikhlasan, keimanan, dan amalnya yang agung~- sebanyak itu pulalah bagian Anda.
Sesungguhnya Nabi saw tidak meninggalkan warisan berupa dinar atau dirham. Yang beliau wariskan adalah dakwah yang diserukan, ilmu guna mentarbiyah diri pribadi dan orang lain, petunjuk, ketakwaan, iman, khusyu’, ikhlas, dan yakin.
Besarnya bagianmu dari warisan Nabi ini berbanding lurus dengan kemudahan orang menerima seruanmu. Semakin banyak kamu mengambilnya semakin mudah pulalah orang mendapatkan hidayah karenamu.
Sangat mungkin ada seorang mad’u yang beriltizam kepada islam dan aktif memperjuangkannya hanya karena melihatmu, yang lain hanya karena duduk sesaat bersamamu, yang lain lagi hanya karena kamu mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salam itu, yang lainnya lagi hanya karena makan bersamamu atau karena senyumanmu untuknya, yang lainnya lagi hanya karena duduk sekitar satu jam atau kurang bersamamu dalam suatu perjalanan.
Bukankah ‘Addas, bekas budak ‘Utbah bin Rabi’ah masuk Islam di tangan Rasulullah saw hanya karena mendengar dua patah kata yang terucap oleh Rasulullah saw. Dua patah kata itu adalah ‘bismillah’ yang beliau ucapkan sebelum menjulurkan tangan mengambil anggur yang diberikannya kepada beliau. Ketika ia tahu bahwa beliau adalah seorang Nabi, ia tersungkur mencium kedua tangan dan kaki beliau seraya menyatakan ketundukannya kepada Islam yang hanif.
Tidakkah kau lihat ketika Rasulullah saw meletakkan tangan beliau di atas dada seorang pemuda yang suka berzina dan ia meminta izin kepada Rasulullah saw untuk itu? Begitu Rasulullah mengangkat tangan beliau dari dadanya dan mendoakannya supaya ia menjadi pemuda yang bisa menjaga diri, maka zina pun menjadi sesuatu yang paling dibencinya; setelah sebelumnya menjadi sesuatu yang paling disukainya!
Begitu pula dengan seorang musyrik yang jauh-jauh datang dari Mekah yang bermaksud membunuh Rasulullah saw atas pesanan Shafwan bin Umayyah. Setelah Rasulullah menceritakan apa yang terjadi antara ia dan Shafwan, ia berkata, “Saya bersaksi bahwa Anda adalah utusan Allah.’
Dan masih banyak lagi orang yang sekedar melihat Rasulullah saw saja, kecintaan kepada beliau pun bersemi di dalam dada mereka. Dan setelahnya mereka mengorbankan segalanya demi membela kecintaannya, Muhammad saw.
Anda pun demikian, semakin banyak Anda memiliki warisan nubuwwah ini akan semakin banyak pulalah bagian Anda dalam hal itu. Memandang wajah Anda saja bisa jadi menjadi sebab datangnya hidayah. Doa Anda bagi mad’u bisa jadi menjadi sebab perubahan pada dirinya. Bahkan begitu pula halnya dengan seulas senyum Anda; Anda tidak perlu berkata-kata selama berjam-jam atau berhari-hari untuk menjelaskan fikrah Anda; Anda juga tidak perlu menjelaskan pandangan-pandangan Anda dalam berbagai masalah penting. Anda hanya memerlukan beberapa detik untuk mengantarkan mad’u ke bawah sinaran cahaya hidayah dan warisan nubuwwah yang telah lebih dahulu memenuhi hati Anda. Anda tinggal men-charge baterai imannya yang kosong dengan baterai iman Anda yang berlimpah.
Seorang mukmin akan terus meningkatkan warisan nubuwwahnya sampai wangi iman, ikhlash, dan kejujurannya akan harum semerbak dan tumbuh di tempat dan masa yang dilaluinya. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan dari generasi ke generasi.
Bukankah orang-orang semisal Mush’ab bin ‘Umeir, Zaid bin Haritsah, ‘Umar bin Khathab, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan para sahabat yang lain… bukankah petuah mereka masih terus bergema di telinga ummat dari generasi ke generasi sampai hari ini dan bahkan sampai Allah mewarisi bumi seisinya?! Bukankah mereka sudah berkalang tanah?!
Bukankah hari ini kita dapat merasakan ~dengan hati dan perasaan~ kehidupan bersama Khalid bin Walid saat kita membaca biografinya? Bukankah kita dapat merasakan saat-saat bersamanya di medan pertempuran, kita berperang bersamanya, berjihad di bawah komandonya?! Bukankah sekedar membaca sejarah hidupnya saja dapat menggelorakan semangat jihad di dalam jiwa dan menjadikan seseorang mencintai syahadah di jalan Allah, seakan ia akan terbang disebabkan oleh rindu dendam kepada hari perjumpaan dengan para tercinta: Muhammad saw dan para sahabatnya?
Apa sebenarnya rahasia lelaki ini sehingga sejarah hidupnya saja membawa pengaruh yang begitu dahsyat dalam jiwa? Bagaimana pula jika kita berkesempatan berjumpa dengannya dan berperang bersamanya di bawah panji-panji yang dikibarkannya?
Zaman yang telah berlalu 14 abad tidak menghapus pengaruh yang ditinggalkan oleh lelaki agung ini. Ia seakan-akan justru hidup dan terus bertempur dari atas kuda perangnya, menaklukkan dua super power: Romawi dan Persia…
Inilah ‘Umar bin ‘Abdul’aziz, cucu dari ‘Umar bin Khathab, setiap kali seseorang dari kita membaca sejarah hidupnya setiap kali itu pula ia akan khusyu’, menitikkan air mata, dan akan hidup bersamanya seakan-akan duduk bersamanya, berbincang-bincang dengannya. Selanjutnya, ia akan diluapi keinginan untuk membacanya, lagi, dan lagi, tiada bosan sedikit pun.
Mereka dan orang-orang yang seperti mereka adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah sehingga meski mereka telah berada di kubur masing-masing, mereka masih menjadi para da’i, penyeru kebenaran, dan pembawa petunjuk ke jalan Allah yang lurus. Manusia dari generasi ke generasi mendapatkan hidayah di tangan mereka meski mereka telah tiada, sama seperti ketika mereka masih hidup. Allah telah dan senantiasa memuliakan para wali-Nya saat mereka hidup atau pun mati, saat mereka di dunia atau pun di akhirat. Itulah fadllullah yang Dia curahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Saya memohon kepada Allah, semoga kita mendapatkannya walau bagian terkecilnya. Berusahalah, niscaya Anda akan menjadi seperti mereka. Sesungguhnya siapa yang kehilangan kesempatan agung dan derajat yang tinggi ini, sungguh ia telah kehilangan kebaikan yang banyak.
Jika seseorang berlaku shidiq kepada Rabbnya, dan juga ikhlas dalam berusaha untuk mengembalikan kejayaan Islam, niscaya menjadi shidiqlah semua yang dilakukannya. Bukan hanya amal, lisan, anggota badan, jihad, dakwah, dan amar makrufnya saja; bahkan pedang, persenjataan, bekal, dan persiapannya pun akan menjadi shidiq.
Tercatat dalam sirah Ibnu Hisyam, ketika Rasulullah saw sampai di rumah pasca perang Uhud, beliau menyodorkan pedangnya kepada putrinya, Fathimah. Beliau berkata, “Bersihkan ini dari darah yang menempel, wahai putriku! Demi Allah, hari ini ia telah berlaku shidiq kepadaku.” Ali bin Abu Thalib juga menyodorkan pedangnya kepada Fathimah, seraya berkata, “Ini juga, bersihkan dari darah yang menempel. Demi Allah, hari ini ia pun telah berlaku shidiq kepadaku.” Mendengar penuturannya Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu benar-benar telah berlaku shidiq saat berperang, sungguh telah berlaku shidiq juga saat berperang: Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah.”
Hanyasanya shidiqnya pedang itu tergantung kepada shidiqnya si empunya pedang.
Saya sempat kagum dengan bait-bait seorang penyair berikut ini,
Pedang Shalahuddin itu tidak ada apa-apanya
Yang ada adalah lengan Shalahuddin
Juga hati Shalahuddin …
hamba yang teramat fakir terhadap Allah ta’ala.
Pedang Ali bin Abu Thalib, Abu Dujanah, dan Sahal bin Hanif memang berbeda dengan pedang pada umumnya. Pedang-pedang itu telah mencari kejujuran dan keikhlasan pemiliknya. Begitu pun dengan pedang Shalahuddin.
Hari ini mungkin saja kita menjumpai pedang… namun kita tidak mendapati orang-orang yang shidiq seperti mereka untuk menjadikan pedang itu menjadi shidiq pula.
Sebatang senapan di tangan orang-orang seperti Khalid dan sahabat-sahabatnya berbeda dengan senapan-senapan lain, meski semua dibuat oleh pabrik yang sama. Peluru yang ditembakkan oleh orang-orang seperti mereka berbeda dengan peluru-peluru lainnya…
Bukankah telah terjadi; peluru ditembakkan oleh seorang mujahid yang lemah dari jarak yang sangat jauh tetapi dapat mengenai komandan musuh tepat di batang lehernya?!
Itulah peluru shadiq yang keluar dari senapan shadiq, dan ditembakkan oleh seorang yang shadiq terhadap Rabbnya dan mukhlis.
Ada juga sebutir peluru ~hanya sebutir~ yang ditembakkan oleh seorang mujahid ke arah dedengkot kufur telah membuat para dokter dan orang-orang yang mengoperasinya geleng-geleng kepala. Tak jauh beda halnya dengan orang-orang di kehakiman. Mereka menyangka peluru yang ditembakkan bukan jenis peluru yang biasa kita kenal. Peluru dengan jenis khusus!
Mengapa? Sebab, bagaimana mungkin sebutir peluru dapat melukai dan merusak tubuh sampai separah itu?? Benar, itu adalah peluru shadiq yang keluar dari senapan shadiq yang dipanggul oleh seorang lelaki yang shadiq terhadap Rabbnya, lagi mukhlis.
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana rijal semisal ‘Ali bin Abu Thalib, Khalid bin Walid, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, ‘Amru bin ‘Ash, dan ‘Ikrimah bin Abu Jahal?
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana Shalahuddin; hati Shalahuddin; keikhlasan dan kezuhudan Shalahuddin?
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana Khalid dan sejawat-sejawatnya, kezuhudan mereka, keshidiqan mereka, keikhlasan mereka, sikap wara’ mereka, dan juga tawadlu’ mereka?
Pernah ada yang berucap, “Obatilah si Fulan dengan membacakan al-Fatihah, sebab ‘Umar pernah melakukannya dan si sakit pun sembuh!” Lalu orang yang diajak berbicara menimpali, “Ini al-Fatihahnya, lalu mana ‘Umarnya?”
Sesungguhnya pedang tidak akan pernah shadiq jika bukan di tangan seorang yang shadiq pula. Pedang tidak akan pernah ikhlas jika tidak dibawa ke medan jihad oleh seorang mukhlis. Pedang tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap musuh-musuh Allah kecuali jika digenggam oleh wali-wali Allah yang sebenarnya. Pedang tidak akan berakhlak jika yang menyandangnya bukan seorang yang berjalan di atas jalan Nabi dan berakhlak dengan akhlak Nabi pula.
Saya sempat tertegun dengan penuturan Mushthafa Shadiq ar-Rafi’i. Ia berkata, “Sesungguhnya yang memiliki akhlak bukan saja orang-orang Islam, tetapi pedang-pedang mereka pun memiliki akhlak. Bukankah pedang mereka tidak membunuh anak-anak, orang tua, wanita, pepohonan, dan pohon kurma?!”
Benar kata Anda, demi Allah! Bahkan pedang-pedang itu tidak menebas dengan didasari oleh rasa sombong, ‘ujub, riya`, semena-mena, dan melampaui batas. Pedang-pedang itu hanya berperang dengan cinta karena Allah dan demi meninggikan kalimat-Nya, memuliakan Islam, serta menjadikan kalimat orang-orang kafir berada di paling bawah dan kalimat Allah sebagai yang teratas.
Seseorang benar-benar berlaku shidiq kepada Rabbnya; shidiq dalam dakwahnya, jihadnya, dan amar makruf nahi munkarnya, kemudian shidiq itu menjalar ke seluruh dimensi kehidupannya. Tidak berhenti pada pedang dan senjatanya saja, tetapi juga menjalar sampai kepada kendaraan yang ia naiki untuk berjihad dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain di jalan Allah dalam rangka meninggikan panji-Nya dan menyebarkan dien-Nya. Benar, seakan shidiq telah berpindah darinya menuju binatang tunggangan atau mobilnya, benda mati yang ia gunakan untuk bergerak di jalan Allah.
Jika Anda ingin lebih mendalami masalah ini lebih baik lagi, cobalah baca kisah Asyqar, kuda Khalid bin Walid. Pernah ada yang mengucapkan ini di hadapan Khalid, “Wah, pasukan Romawi banyak sekali, sedangkan pasukan muslimin sedikit sekali!” Maka Khalid pun berkata, “Justru pasukan Romawi sedikit dan pasukan muslimin banyak sekali! Hanyasanya pasukan perang itu menjadi banyak dengan kemenangan dan menjadi sedikit dengan kekalahan, bukan dengan jumlah personil. Demi Allah, aku ingin sekiranya Asyqar sembuh dari penyakitnya meski jumlah mereka dilipatgandakan sebagai tebusannya.” Saat itu kudanya sudah tidak kuat lagi berjalan.
Asyqar telah mempelajari perilaku shidiq dalam jihad dari tuannya. Berdua mereka telah bertempur dan melalui ribuan mil dalam rangka jihad fi sabilillah. Bahkan Khalid telah menaklukkan Persia dan Romawi dengan mengendarainya. Ia telah berpindah dari ujung negeri ke ujung yang lain, dari satu kemenangan ke kemenangan yang lain, tanpa mengenal lelah dan istirahat. Khalid telah melalui saat-saat yang mencekam bersamanya. Khalid telah berjalan siang-malam bersamanya. Khalid telah melewati keramaian dan tempat-tempat yang lengang bersamanya. Khalid telah memporak-porandakan musuh bersamanya. Sampai-sampai kaki Asyqar merapuh karena terlalu banyak berjalan. Sungguh, di atas punggungnya Khalid telah menaklukkan Persia dan Powami, dua kekuatan super power saat itu. Dan karena perilaku shadiq si Asyqar terhadapnya, Khalid berharap sekiranya Asyqar sembuh dari penyakitnya, walau jumlah personil pasukan Romawi dilipatgandakan. Jumlah yang banyak tidak ada apa-apanya di hadapan keshadiqan Asyqar dalam jihad. Begitulah kuda dan kendaraan kaum muslimin.
Benarlah sabda Nabi saw. Ketika para sahabat berkata, “Qashwa (unta Nabi) menderum!”, beliau menimpali, “Bukan Qashwa` yang menderum, karena itu bukan kebiasaannya. Akan tetapi ia ditahan masuk oleh Allah yang pernah menahan gajah”
Sebaliknya, jika keshadiqan seseorang hanya secuil, sedangkan yang banyak hanyalah kemaksiatan dan keburukannya, niscaya akan berimplikasi pada segalanya, termasuk kendaraannya. Benarlah pernyataan seorang salaf, “Aku telah bermaksiat kepada Allah, dan aku merasakan pengaruhnya pada polah istri dan binatang tungganganku.”

JANGAN BERMAKSIAT
Sebagian ikhwah mungkin menyangka bahwa Allah akan memakluminya jika ia bermaksiat lantaran menurutnya ia telah lama beriltizam kepada Islam dan bergabung dengan para aktivis Islam. Maka ia pun memandang remeh urusan maksiat. Apalagi setelah berlalunya masa yang panjang dari iltizamnya, setelah mulai berkurang dan menipis hamasahnya (semangat), hamiyyahnya (pembelaan), dan ghirahnya. Ada banyak faktor pemicu yang bukan di sini tempat membicarakannya saat ini.
Ketika seseorang telah menganggap remeh dosa-dosa kecil, atau mentolerir perkara-perkara syubhat, dengan segera ia akan merasakan akibatnya dari Allah ‘azza wa jalla. Dahsyat memang!
Pernah ada seseorang yang melakukan perbuatan maksiat, beberapa jam kemudian ia sudah mendapati hukuman yang berat dikarenakan perbuatannya itu. Ia kebingungan, dan berkata kepada dirinya sendiri, “Aku telah melakukan perbuatan dosa yang semacam ini atau bahkan yang lebih besar lagi, lebih dari 100 kali sebelum aku beriltizam dan aku tidak mendapati hukuman atas perbuatanku itu. Sekarang, hukuman yang aku dapati sangatlah cepat, langsung, dan kuat!”
Seandainya orang ini mengerti agamanya dengan baik, niscaya ia akan mengerti bahwa sebenarnya Allah sedang ‘cemburu’ atas dilanggarnya perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Kecemburuan Allah ini semakin besar manakala pelaku pelanggaran itu adalah wali-wali-Nya yang selama ini mendekatkan diri kepada-Nya, yang semestinya menjadi orang yang paling jauh dari segala bentuk kemaksiatan.
Para pembawa panji risalah Islam adalah orang-orang yang semestinya paling bertakwa kepada Allah dan paling menghindari dosa-dosa kecil serta perkara-perkara syubhat, apalagi yang haram. Mereka melarang orang lain melakukannya; bagaimana bisa mereka sendiri melakukannya?
Lebih dari itu, ini akan melahirkan fitnah di kalangan kaum muslimin pada umumnya saat mereka mengetahuinya ~dan suatu saat mereka pasti akan tahu~ dan akan mengakibatkan hilangnya martabat qudwah dan uswah yang seharusnya menjadi perhiasan bagi setiap ikhwah.
Karena itulah Allah berfirman
فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتِ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Al-Baqarah : 209
Perhitungan bagi mereka adalah perhitungan yang berat; lebih berat dan lebih sulit dibandingkan dengan perhitungan untuk orang-orang selain mereka.. Untuk itu hendaknya setiap ikhwah mengerti dengan ilmu yakin bahwa antara Allah dan salah seorang anak Adam itu ~apa pun pangkatnya~ tidak ada hubungan kerabat atau kekeluargaan. Allah senantiasa memutuskan sesuatu dengan tepat dan adil..
Setiap ikhwah yang tergabung dalam sebuah jamaah Islam hendaknya mengingatkan diri dengan firman Allah ta’ala
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلاَ أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَ بِهِ
An-Nisa` : 123
Ayat ini oleh sebagian sahabat dianggap sebagai ayat yang paling berat dalam al-Qur`an .
Saya sendiri menganggap ayat ini sebagai ayat yang paling mengerikan dan paling menggetarkan seluruh persendian.
Ayat di atas berbicara kepada para sahabat. Siapa yang tidak mengenal kualitas mereka? Jika demikian, bagaimana dengan orang-orang seperti kita, yang sering beramal shalih, tetapi juga sering beramal buruk?
Ayat ini benar-benar menjadi lonceng yang berdentang untuk membangunkan setiap orang yang berada di dalam sebuah jamaah Islam. Timbangan yang adil tidak akan mengistimewakan seorang pun, siapa pun dia. Lihatlah Bal’am bin Ba’ura yang konon mengetahui nama Allah yang teragung; ketika ia bermaksiat kepada Rabbnya, ia pun berubah seperti anjing, dalam segala keadaan selalu menjulurkan lidah .
Dosa dan kemaksiatan adalah sumber malapetaka. Tidak ada bencana yang menimpa melainkan dosalah penyebabnya, dan bencana tidak akan dihentikan kecuali dengan taubat.
Ada seorang syekh yang berkeliling dari satu majlis ke majlis yang lain seraya berkata, “Barangsiapa ingin dilanggengkan kesehatannya, hendaknya ia bertakwa kepada Allah!”
Ada satu hadits mulia berbunyi
إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيْبُهُ
Sungguh, seorang hamba itu akan terhalangi dari rizki dikarenakan dosa yang dilakukannya .
Abu Utsman an-Naisaburiy putus sendalnya ketika ia berjalan untuk menunaikan shalat Jum’at. Ia pun memperbaikinya beberapa saat, lalu berkata, “Sandal ini putus karena aku tidak mandi Jum’at”.
Ibnul Jauziy berkata, “Salah satu hal yang menakjubkan dari balasan di dunia; tangan saudara-saudara Yusuf telah terjulur untuk menzhaliminya, maka tangan-tangan itu kembali terjulur di hadapan Yusuf sementara pemilik tangan-tangan itu berkata, ‘Mohon, bersedekahlah kepada kami!’”
Terkadang, hukuman itu bersifat maknawi. Betapa banyak orang yang memandang sesuatu yang diharamkan oleh Allah, karenanya Allah menghalanginya dari cahaya bashirah.
Betapa banyak orang yang mengucapkan kata-kata yang haram, karenanya Allah menghalanginya dari bening hati. Atau karena ia mengkonsumsi makanan yang syubhat ~dengan begitu ia menzhalimi hatinya~ ia terhalangi dari qiyamullail dan shalat untuk bermunajat.
Akibat lainnya; bahwa kemaksiatan itu akan mengantarkan kepada kemaksiatan yang lain, kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan berikutnya, begitu seterusnya.
Seorang yang bermaksiat mungkin saja melihat badan, harta, dan keluarganya baik-baik saja. Ia merasa tidak ada hukuman atas kemaksiatan yang dilakukannya. Sebenarnyalah saat itu ia sedang mendapat hukuman. Cukuplah menjadi hukuman baginya saat manisnya kelezatan berubah menjadi hambar tak berasa dan yang tersisa tinggal pahitnya penyesalan, kesedihan dan kegelisahan.
Diriwayatkan ada beberapa orang pendeta Bani Israil bermimpi melihat Rabbnya, ia berkata, “Duhai Rabbku, betapa aku telah banyak bermaksiat kepada Mu tetapi Engkau tidak pernah memberikan hukuman atas semua itu?” Rabbnya menjawab, “Betapa banyak aku telah memberikan hukuman kepadamu, tapi kamu tak pernah tahu. Bukankah aku telah menghalangimu dari merasakan manisnya bermunajat kepada Ku?!”
Kadang-kadang buah dari kemaksiatan berupa Allah menjadikan kebencian dari berbagai hati kepadanya, atau terhalanginya dakwah tanpa sebab yang jelas. Abu Darda` ra berkata, “Ada seorang hamba yang sembunyi-sembunyi bermaksiat kepada Allah ta’ala lalu Allah menumbuhkan rasa benci dalam hati orang-orang yang beriman kepadanya tanpa pernah ia menyadarinya.”
Dalam kitab Al-Fawaid, Ibnul Qayyim telah meringkas berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan oleh kemaksiatan dengan sistematika yang bagus sekali, beliau menulis:
Hidayah yang sedikit, ra`yu yang rusak, kebenaran yang tersembunyi, hati yang bobrok, ingatan yang lemah, waktu terbuang sia-sia, makhluk menjauhinya, takut berhubungan dengan Rabbnya, doa tidak dikabulkan, hati yang keras, rizki dan umur yang tidak berbarokah, terhalangi dari ilmu, diliputi kehinaan, direndahkan oleh musuh, dada yang sempit, mendapatkan teman-teman jahat yang merusak hati dan membuang-buang waktu, kesedihan dan kegundahan yang panjang, kehidupan yang menyesakkan dan pikiran yang kacau… semua itu merupakan buah kemaksiatan dan akibat kelalaian dari dzikrullah, seperti halnya tetumbuhan subur dengan air dan kebakaran bermula dari sepercik api. Begitupun sebaliknya, semua kebalikan dari hal-hal tersebut di atas merupakan buah dari ketaatan.
Pernah salah seorang salaf ditanya, “Apakah seorang yang sedang bermaksiat itu dapat merasakan lezatnya ketaatan?” Ia menjawab, “Bahkan orang yang berhasratpun tidak (akan merasakan kelezatannya).”
Ibnul Jauzi berkata, “Barang siapa memperhatikan kehinaan yang dirasakan oleh saudara-saudara nabi Yusuf as ketika mereka berkata, ‘Mohon, bersedekahlah kepada kami!’, niscaya ia akan mengerti akibat buruk dari kesalahan meskipun telah diikuti dengan taubat. Sebab seseorang yang punya baju robek kemudian menjahitnya tidak sama dengan orang yang memiliki baju baru.
Waspadalah terhadap kejahatan yang disepelekan. Ia mungkin saja dapat membakar negeri. Wahai yang senantiasa tergelincir, mengapa kau tidak memperhatikan apa apa yang membuatmu tergelincir?!

KEMAKSIATANMU BERPENGARUH PADA EKSISTENSI JAMAAH
Terkadang kemaksiatan seseorang atau sekelompok ikhwah bisa mengakibatkan seluruh bagian dari jamaah akan merasakan pengaruh buruknya, atau menjadi faktor kehancuran dan malapetaka, atau menjadi sebab hadirnya ujian yang sangat berat. Khususnya jika kemaksiatan itu berupa dosa besar atau dilakukan oleh jajaran qiyadah atau orang–orang yang seharusnya menjadi uswah dan qudwah. Atau belum benar-benar diingkari secara syar’i oleh jamaah, atau taubatnya belum sungguh-sungguh. Benarlah Allah yang telah berfirman,
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً
Al-Anfal :25.
Kalau kita perhatikan perang Uhud misalnya, kita akan mendapati bahwa sebab kekalahan kaum muslimin di sana adalah implikasi dari kemaksiatan yang dilakukan oleh sebagian pasukan pemanah. Jumlah mereka tidak lebih dari 4% keseluruhan pasukan kaum muslimin dalam peperngan itu. Apa hasil dari kemaksiatan itu ? 70 orang shahabat Rasul saw terbunuh, perut mereka dicabik-cabik, telinga dan hidung mereka diiris, Rasul terluka, wajahnya yang mulia robek, gigi rubaiyyahnya pecah. Itupun Allah telah memaafkan meraka sebagaimana tertera di dalam Al-Qur`an.
وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ
Ali ‘Imran : 152.
Seseorang pernah bertanya kepada Hasan Al-Bashri , “Bagaimana bisa dikatakan Allah telah memaafkan mereka, sedangkan tujuh puluh orang dari mereka terbunuh?” Hasan menjawab, “Kalau seandainya Allah tidak memaafkan mereka, niscaya mereka semua tertumpas habis.”
Itu semua merupakan implikasi dan akibat buruk dari kemaksiatan. Al-Qur`an menjelaskan.
أَوَلَمَّاأَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
Ali ‘Imran : 165
حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي اْلأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّوْنَ
Ali ‘Imran : 152.
Hal seperti ini juga tampak jelas dalam perang Hunain, pada awal-awal peperangan kaum muslimin sempat kocar-kacir akibat segelintir orang yang ‘ujub dan lupa bahwa kemenangan itu ~semuanya~ datang Allah saja. Padahal mereka itu termasuk at-Thulaqa`, orang –orang yang baru saja masuk Islam.
Mereka mengatakan, “Hari ini kita tidak mungkin kalah karena jumlah yang sedikit.”
Buahnya, seperti yang dijelaskan oleh al-Qur`an.
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ اْلأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِيْنَ
at-Taubah:25
Saudaraku, untuk itu hendaknya Anda benar-benar merenungkan penggalan,
وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ اْلأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِيْنَ
Dari sini saya sampaikan, sebuah jamaah yang ingin eksis di muka bumi hendaklah memberikan perhatian yang penuh terhadap urusan mencegah kemungkaran yang ada di dalam tubuh jamaah, melebihi perhatiaannya terhadap urusan mencegah kemungkaran yang ada di masyarakat tempat jamaah ini berada. Sungguh jika sebuah jamaah telah sukses untuk menyelasaikan yang pertama, niscaya ia akan lebih sukses lagi untuk menyelesaikan yang kedua. Dan saya tegaskan, sekali-kali sebuah jamaah tidak akan sukses untuk menyelesaikan yang kedua kecuali jika telah sukses menyelesiakan yang pertama.
Sebelum saya mengakhiri pembicaraan tentang kemaksiatan ini, saya ingin mengingatkan adanya satu masalah yang sangat penting; saya tidak memaksudkan pembicaraan saya di muka untuk kemaksiatan lahir saja, namun saya maksudkan juga untuk yang batin. Apalagi yang terakhir ini ~seperti riya, ujub, iri, cinta kekuasaan dan sombong~ bisa jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kemaksiatan lahir. Kemaksiatan batin itu ibarat kanker; cepat sekali menjalar ke seluruh tubuh dan merusak tanpa sepengetahuan si penderita dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Penderita tidak merasakan sakit dan tidak mengeluhkannya. Ia baru mengetahuinya ketika penyakit telah menahun, kronis, dokter sedah angkat tangan, dan obat sudah tidak bermanfaat lagi.
Bukankah kekalahan yang diderita kaum muslimin di awal-awal peperangan Hunain hanya disebabkan oleh satu dosa batin saja yaitu ‘ujub ?
Bagi kebanyakan orang, mendeteksi penyakit-penyakit batin ini bukanlah pekerjaan yang gampang. Hanya orang-orang yang ahli saja yang mampu melakukannya. Jika demikian adanya, lalu bagaimana dengan mengobatinya?
Hendaknya sebuah jamaah mewaspadai segala bentuk kemaksiatan. Kepada para leader, hendaknya mereka selalu membersihkan hati masing-masing dan berusaha untuk membersihkan hati saudara-saudara mereka, juga tentara-tentara mereka dengan pelbagai macam sarana yang disyariatkan Islam dan dijabarkan di lembaran-lembaran lain. Mereka hendaknya mengerti bahwa usaha preventif itu lebih baik daripada kuratif, bahwa satu dirham untuk menjaga lebih baik daripada satu qirath untuk mengobati.
Bentuk usaha penyembuhan dan penjagaan dari semua penyakit ini adalah hendaknya mereka menjadi orang-orang yang taat kepada Allah dan senantiasa membersihkan hati serta anggota badannya dari kotoran syubhat dan dosa-dosa kecil ~apalagi dosa-dosa besar~, baik yang lahir maupun yang batin.
Sesungguhnya manusia itu akan meniru para penguasa, mengikuti para pemimpin. Wallahu a’lam.

BERBAKTILAH KEPADA KEDUA ORANG TUA
Ada satu hakekat yang dimengerti oleh seluruh ikhwah tanpa pengecualian; yaitu bahwa berbakti kepada ibu-bapak merupakan salah satu kewajiban agama yang terpenting. Dan bahwa durhaka kepada keduanya merupakan salah satu dosa besar. Semua tahu adanya wasiat dari al-Qur`an yang diulang beberapa kali yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada keduanya.
Derajat berbuat baik kepada keduanya lebih tinggi daripada derajat bersikap adil. Bahkan Allah memposisikan perbuatan baik untuk keduanya setelah beribadah kepada-Nya, langsung.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Al-Isra` : 23
Allah swt telah melarang pengucapan kata-kata ‘Ah!’ yang ditujukan kepada salah satu dari keduanya. Lalu bagaimana dengan yang lebih dari itu?
Meski begitu, kita masih mendapati ada segelintir ikhwah ~yang belum lama beriltizam~ yang tidak menunaikan kewajiban ini. Saya tidak mengatakan, berbuat baik kepada kedua orang tua mereka, sebab berbuat adil pun tidak. Tetapi malah durhaka kepada mereka. Kadang terdengar kabar ada yang berkata kasar kepada ayahnya, mengeraskan suara di hadapannya, tidak mentaatinya dalam urusan yang wajib atau yang mubah, bahkan pernah terdengar adanya seseorang yang menghardik atau mencaci maki ibunya!
Kepada mereka saya katakan, “Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban agama seperti halnya dakwah, amar makruf nahi munkar, jihad, dan shalat.. Durhaka kepada keduanya merupakan salah satu dosa besar yang tidak berpaut jauh dari dosa besar semacam zina, mencuri, atau yang lainnya, bahkan bisa jadi durhaka kepada keduanya ini lebih besar. Nah, atas alasan apa Anda memilah-milah Islam, menerima sebagiannya dan menolak sebagian yang lain? Bukankah Anda pula yang telah mencela orang-orang Sekuler habis-habisan, dan bukankah Anda juga yang menggemakan firman Allah.
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ
al-Baqarah : 85
Mengapa Anda melarang orang lain tetapi Anda sendiri melakukannya?
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيْ مِثْلَهُ
عَارٍ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ
Janganlah Anda melarang suatu perilaku
tetapi Anda melakukan yang semisal dengannya
Adalah aib yang sangat besar
jika Anda nekat melakukannya.”
Kepada mereka saya katakan juga, “Ingatlah juga bahwa Islam memuliakan kedua orang tua sampai-sampai Anda dibolehkan ~bahkan diharuskan~ untuk membatalkan shalat sunnah demi menyahut panggilan keduanya.”
Mereka mestinya juga mengingat kisah Juraij, seorang ‘abid dari kalangan Bani Israil dan ibunya yang dikisahkan langsung oleh Rasulullah saw Imam al-Bukhariy dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw sabdanya, “Juraij adalah seorang ‘abid. Ia menetap di sebuah sinagog. Suatu hari ketika ia sedang mengerjakan shalat, ibunya datang memanggilnya. ‘Juraij!’, panggil ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan ibunya pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ibunya datang lagi dan ia pun sedang mengerjakan shalat. ‘Juraij!’, seru ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan ibunya pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ibunya datang lagi dan lagi-lagi ia pun sedang mengerjakan shalat. ‘Juraij!’, seru ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan di saat itulah ibunya berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau sampaikan ajalnya ia sampai ia melihat wajah-wajah wanita jalang!’ Suatu hari di saat Bani Israil memperbincangkan Juraij dan ibadahnya, datang seorang pelacur yang sangat cantik. Wanita itu berkata, ‘Jika kalian menginginkan, aku akan menggodanya untuk kalian.’ Lalu wanita itu pergi menemui dan menggoda Juraij, namun Juraij bergeming, bahkan menoleh pun tidak. Maka wanita itu mendatangi seorang penggembala yang kebetulan berteduh di sinagog Juraij, digodanya, dan penggembala itu pun berzina dengannya. Akhirnya pelacur itu hamil. Setelah proses persalinan ia berkata, ‘Ini hasil hubunganku dengan Juraij.’ Maka orang-orang mendatangi Juraij, mengeluarkannya dari sinagog, merobohkan sinagognya, dan memukulinya. ‘Apa-apaan ini?!’, tanya Juraij. Orang-orang itu berkata, ‘Kamu telah berzina dengan wanita ini, dan ia telah melahirkan bayi hasil hubunganmu dengannya.’ ‘Mana anak itu?!’, tanya Juraij. Mereka membawa bayi itu kepada Juraij, lalu Juraij berkata, ‘Tunggu sebentar, biarkan aku mengerjakan shalat dulu!’ Juraij pun mengerjakan shalat. Seusai mengerjakannya, Juraij mendatangi bayi itu dan dipukulnya perut bayi itu seraya berkata, ‘Hei anak kecil, siapa bapakmu?’ Bayi itu menjawab, ‘Fulan, si penggembala.’ Orang-orang yang hadir terperangah dan mereka pun menciumi Juraij serta meminta berkah darinya. Mereka berkata, ‘Biarlah kami bangun kembali sinagogmu dari emas!’ ‘Tidak!’, kata Juraij ‘Bangunlah dari tanah liat seperti sedia kala!’ Maka mereka pun membangunnya kembali..”
Juraij yang sedang mengerjakan shalat sunnah enggan untuk membatalkan shalatnya demi menjawab panggilan ibunya. Ia mengira menyelesaikan shalat lebih baik daripada menjawab panggilan ibunya, lebih baik daripada berbakti kepadanya. Ia melakukan hal itu tiga kali pada hari yang berbeda. Dalam tiga kali itu ia tidak menyahut atau menjawab seruan ibunya. Lalu sang ibu berdoa kepada Allah, dan Allah mengabulkannya sebagai pelajaran agung bagi Juraij tentang prioritas amal dalam dienullah, dan bahwa birrul walidain serta berbuat baik kepada keduanya lebih agung dan lebih utama ~kelak saat ditimbang di akhirat~ daripada semua shalat sunnah.
Berangkat dari urgensi pelajaran agung yang telah dipelajari Juraij inilah Rasulullah saw ingin mengajarkannya kepada ummatnya, sebagai bukti rasa kasih beliau kepada mereka, dan supaya tidak terulang kembali kesalahan yang pernah dialami Juraij, khususnya menyangkut orang-orang shalih, para penegak dien, dan siapa saja yang melakoni hidup seperti Juraij. Karena akibat yang akan menimpa mereka jauh lebih hebat daripada yang menimpa orang-orang selain mereka.
Kepada beberapa ikhwah yang kurang berbakti kepada kedua orang tua mereka saya sarankan untuk mengingat kisah Uwais al-Qarniy, seorang tabi’in yang kedatangannya dikabarkan oleh Rasulullah saw kepada ‘Umar bin Khathab, “Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama sekian penduduk Yaman, dari daerah Murad, Qaran. Ia pernah terjangkit penyakit kulit, lalu sembuh dan tersisa seukuran uang satu dirham. Ia memiliki seorang ibu hal mana ia sangat berbakti kepadanya. Apabila ia bersumpah, memohon kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Jika kamu dapat memintanya untuk beristighfar untukmu, lakukanlah!”
Maka ‘Umar selalu bertanya-tanya tentangnya kepada orang-orang yang datang dari Yaman sampai ia bertemu dengan Uwais. ‘Umar membawakan hadits Nabi. ‘Beristighfarlah untukku!’, katanya kemudian. Dan Uwais pun memenuhinya.
Saudara-saudaraku, tinggi dan mulia sekali derajat yang dicapai oleh sseorang tabi’in ini. Sungguh, sekiranya saya memaparkan ketinggiannya pada lembaran-lembaran kertas, hal itu tidak akan pernah mencukupinya. Cukuplah kiranya pujian dari Rasulullah saw dan pemberitaan tentangnya kepada seorang sahabat. Apalagi beliau saw menganjurkan ‘Umar bin Khathab (!) supaya memintanya untuk beristighfar untuknya... Siapa yang tidak mengenal ‘Umar bin Khaththab, kedudukannya dalam dienullah, dan kedudukannya di sisi Allah?! Rasulullah menyatakan, jika tabi’in ini memohon sesuatu kepada Allah, Dia pasti akan mengabulkannya. Bahkan beliau juga menganjurkan para sahabat apabila berjumpa dengannya, hendaklah mereka memintanya supaya beristighfar bagi mereka. Dalam salah satu riwayat Imam Muslim disebutkan sabda beliau, “Siapa pun di antara kalian yang berjumpa dengannya, mintalah supaya ia beristighfar untuk kalian!”
Dan dalam riwayat yang lain, “Maka suruhlah ia supaya beristighfar untuk kalian!”
Semua kemuliaan dan kedudukan yang tinggi ini diraih oleh Uwais al-Qarniy karena baktinya kepada sang ibu.
Subhanallah! Berapa derajat yang akan diraihnya seandainya bapaknya masih hidup dan ia berbakti kepada keduanya?! Sungguh, ini adalah pelajaran yang agung bagi siapa-siapa yang punya hati, mau mendengar, dan mau menyaksikan.
Dalam pada ini saya menyeru kepada semua ikhwah, saya katakan, “Sesungguhnya manusia yang paling utama untuk kalian dakwahi adalah kedua orang tua, keluarga, dan kerabat. Bukankah Allah telah berfirman
وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ
asy-Syu’ara : 214
Apakah ada di antara kalian yang ingin masuk surga semenara dalam waktu yang sama ia ingin ibu atau bapaknya masuk neraka? Atau salah satunya disiksa pada hari kiamat akibat kekurangseriusannya dalam mengajaknya kepada kebenaran, petunjuk, dan cahaya?
Sebagaimana saya mengingatkan setiap aktivis untuk mengasihi manusia secara umum, saya pun mengingatkannya supaya mereka mengasihi kedua orang tua, keluarga, dan kerabat mereka. Saya katakan, “Jika Anda mendapati salah seorang dari keduanya ~atau keduanya~ tengah bermaksiat, hendaklah mengasihinya dan mengingatkannya dengan lemah lembut. Hendaknya Anda selalu ingat bahwa menurut aturan syara’ mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh kedua orang tua hanya boleh menggunakan pengingkaran tingkat pertama; mengingkarinya dengan bahasa yang halus, penuh kasih sayang, dan lemah lembut. Anda ‘cukup’ tidak mentaati keduanya dalam kemaksiatan. Tidak mentaati keduanya sepanjang masa hanya dikarenakan keteledorannya dalam pelbagai urusan dien, haram mutlak! Anda harus selalu mentaati keduanya dalam setiap perkara mubah, sunnah, atau wajib dari dien ini, meskipun keduanya termasuk ahli maksiat, atau bahkan kafir sekalipun. Anda harus menjalin hubungan yang baik dengan keduanya, mempergauli mereka dengan makruf, berkhidmat kepada keduanya, dan memenuhi kebutuhannya jika Anda mampu.
Jangan sekali-kali Anda menyusahkan atau menyakiti keduanya. Jangan sekali-kali Anda beranggapan bahwa bapak Anda telah menjadi gombal, kain usang di dalam rumah, sedangkan Anda telah menjadi tuan rumah yang berkuasa, menggantikannya. Jangan Anda memukul adik-adik Anda dengan atau tanpa sebab. Jangan Anda berlaku congkak di hadapan semuanya atas nama mengusir kemungkaran yang ada di dalam rumah.
Bisa jadi, kerusakan yang Anda lakukan ini justru lebih besar dibandingkan kemungkaran yang sebenarnya para ulama masih berselisih pendapat di dalamnya. Sekiranya Anda menyeru mereka dengan seruan yang benar, beralaskan bashirah, dan Anda ajarkan dien dengan sebenarnya, niscaya Anda akan mendapati keadaan yang sangat berbeda; segalanya berjalan sesuai dengan keinginan Anda bahkan lebih! Bisa-bisa Anda menemukan seseorang dari anggota keluarga Anda yang lebih baik daripada diri Anda sendiri dan lebih dekat kepada Allah daripada diri Anda sendiri.
Menurut pengalaman panjang dalam hidup saya, saya mendapati bahwa seorang pendurhaka kepada kedua orang tuanya tidak akan lama bertahan di jalan kebenaran; ia hanya akan berjalan bersama jamaah Islam beberapa langkah saja, lalu ia akan terfitnah dengan dunia dan melangkah jauh entah ke mana. Kiranya rahasianya adalah ~wallahu a’lam~ “Barangsiapa tidak berbuat baik kepada kedua orang tuanya ia pun tidak akan berbuat baik di dalam Islam dan jamaah Islam.”
Kepada para da’i dan pemimpin jamaah Islam hendaklah selalu bertanya kepada saudara-saudaranya dan anggotanya tentang hubungan mereka dengan orang tua dan keluarga mereka. Hendaknya mereka serius memanifestasikan firman Allah
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
al-Isra` : 23
Sungguh! Jika kemaksiatan sebesar durhaka kepada kedua orang tua meluas dan merajalela, ini dapat merobohkan jamaah Islam secara total dan bisa menjadi faktor utama datangnya kemurkaan Allah. Na’udzubillahi min dzalik.
Alhamdulillah, jika kita perhatikan keadaan kita di sini (bukan di Indonesia, pent.) kita saksikan ikatan yang kuat antara ikhwah dengan keluarga mereka. Kita temui kecintaan yang agung dan sikap saling menghargai. Kita dapati rata-rata keluarga ikhwah ~setelah setahun atau paling lama dua tahun sejak seorang aktivis menyatakan iltizam~ menyatakan iltizam kepada Islam secara total. Seringkali kita menjumpai di antara keluarga aktivis itu, seseorang yang lebih kuat iltizamnya, lebih baik, dan lebih kukuh daripada aktivis itu sendiri. Itulah fadllullah yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Saya benar-benar telah menyaksikan dengan sebenarnya…
Saya telah menyaksikan bapak, ibu, dan istri para aktivis turut merasakan penderitaan panjang di jalan Allah.. bertahun-tahun.. Mereka telah menampilkan satu tauladan terbaik dalam hal kesabaran, keteguhan di atas kebenaran, dan dukungan yang sangat kuat bagi para mujahidin.
Bukti yang paling nyata adalah adanya ratusan ibu-ibu, bapak-bapak, dan para istri yang berdiri berjam-jam setiap harinya, dibakar terik matahari musim panas, diguyur deras hujan musim penghujan, merasakan kesulitan, derita, dan beban melebihi yang diderita oleh para aktivis.. Mereka menunggu selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Mereka bersabar untuk berpisah dengan anak dan suami mereka. Mereka kehilangan nafsu makan, dan mereka ingin membawa makanan itu kepada anak-anak mereka. Sebagian mereka bahkan tertidur dengan perut kosong.. Mereka terus saja bersabar dan mengharapkan ridla Allah. Mereka berada dalam jihad yang tidak lebih kecil daripada jihad yang dilakukan anak dan suami mereka, jika bukan malah lebih besar. Dan apa yang mereka lakukan ini ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar dalam diri anak-anak dan suami mereka, menambah kekuatan dan keteguhan mereka dalam menanggung beban derita di jalan Allah.

QIYAMULLAIL, MADRASAH PARA AKTIVIS
Sangatlah mengherankan jika Anda melihat ada seorang akitivis Islam yang tidak pernah mengerjakan qiyamullail. Bagaimana bisa terjadi keseimbangan yang berat itu?
Jika qiyamullail adalah kebutuhan asasi setiap muslim, lalu bagaimana dengan seorang aktivis Islam yang memikul pelbagai beban berat dari dien ini; dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan menyerukan kebenaran? Bukankah dalam Kitab-Nya Allah telah berfirman,
يَاءَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيْلاً نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلاً أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلاً
Al-Muzzammil : 1-4
Mengapa mesti demikian? Jawabannya adalah ayat berikutnya
إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيْلاً
Al-Muzzammil : 5
Ya, amanat yang berat, beban yang sulit, dan perintah-perintah yang membutuhkan ‘azam yang kuat dan himmah yang tinggi.. Amanat yang sebelumnya telah ditolak oleh langit dan bumi; keduanya khawatir tidak mampu mengembannya, lalu amanat itu dibebankan di pundak manusia.
Siapa yang mampu menunaikan kewajiban dakwah, tarbiyah, amar makruf nahi munkar, dan jihad tanpa mempersiapkan bekal? Bekal selama menempuh perjalanan menuju Allah?
Tanpa bekal seseorang akan terputus di tengah jalan dan binasa sebelum sampai ke tujuan.
Madrasah qiyamullail adalah madrasah terbesar di mana seorang muslim ditempa di sana, mengenal Rabbnya, mengenal secara mendetail nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya berikut makna yang terkandung di dalamnya.
Ia adalah madrasah khusyu’, khudlu’, tadzallul, dan inabah kepada-Nya. Karena itulah seluruh syariat ~tanpa terkecuali~ qiyamullail menjadi salah satu unsurnya.
Hendaknya setiap ikhwah mengerti bahwa tadzallul (merendahkan diri) di malam hari merupakan jalan untuk meraih ‘izzah di siang hari, sujud dan khudlu’ di malam hari merupakan jalan meraih kemuliaan di siang hari dan jalan untuk mengalahkan musuh sekaligus jalan meraih taufik dalam dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, dan juga jihad.
Sebelum membunuh Klepper, Sulaiman al-Halbiy terus-menerus menunaikan qiyamullail dan memohon kepada Allah selama sebulan pebuh di masjid Jami’ al-Azhar. Selama itu ia terus bertabattul kepada Allah dan berdoa kepada-Nya agar Dia memberikan taufik-Nya dalam upayanya membunuh musuh Allah; Klepper. Saat itu senjata yang dimiliki olehnya hanyalah sebuah golok, tidak ada yang lainnya! Meski begitu, Allah memberikan taufik-Nya dengan sebenar-benarnya. Di tangan Sulaiman terbunuhlah pemimpin Perancis tersohor setelah Napoleon yang juga panglima Angkatan Bersenjata Perancis saat itu. Di antara yang terbunuh bersama Klepper, seorang staff Engineering Angkakan Bersenjata Perancis. Semuanya ditangani oleh seorang pahlawan Islam itu, sendirian! Tempat kejadiannya: Mess Panglima Angkatan Bersenjata Perancis alias di dalam rumah Klepper sendiri!!
Shalahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang yang dengan sense keislamannya yang tajam dan ma’rifahnya terhadap Islam yang nyaris sempurna, memahami benar bahwa qiyamullail merupakan faktor terpenting dalam mengalahkan semua musuh. Shalahuddin mengerti bahwa kemenangan tidak akan terengkuh tanpa menghinakan diri di hadapan Allah. Ia juga mengerti bahwa qiyamullail adalah senjata yang paling ampuh untuk menghancurkan musuh, tiada duanya. Karena itulah setiap malam ia menyempatkan diri berkeliling ke kemah pasukan perangnya dan jika ia melihat ada kemah yang tidak dijaga dengan qiyamullail, ia akan membangunkan penghuninya dan menegur mereka, “Aku khawatir kita akan diserbu dari bagian sini, malam ini!”
Ini adalah pemahaman yang tinggi terhadap Islam yang lurus. Shalahuddin menganggap kosongnya satu kemah dari qiyamullail merupakan kekosongan yang paling berbahaya melebihi kosongnya benteng dari penjagaan hal mana musuh bisa datang dan menyerang dari sana.
Semoga Allah merahmatimu, wahai Shalahuddin! Sungguh, kaum muslimin benar-benar tidak akan dapat mengalahkan musuh-musuh mereka dengan hanya berbekalkan jumlah pasukan dan kekuatan logistik.
Hanyasanya dengan dien inilah kemenangan akan tercapai. Sesuatu yang dengannya Allah telah memuliakan mereka. Kemenangan tercapai dengan ketaatan mereka dan kemaksiatan yang dilakukan oleh musuh-musuh mereka. Sebenarnyalah, kunci kemenangan itu ada pada kekhusyu’an dan ketundukan kepada Allah, Rabbul ‘alamin...
Adalah Khalid al-Islambuliy dan para sejawatnya, semenjak awal jihad sampai mereka menghadap Rabb mereka, dan itu terjadi belum lama, mereka senantiasa mengisi malam mereka dengan qiyamullail dan siang mereka dengan shiyam. Mereka biasa berdiri berjam-jam di malam hari untuk membaca surat-surat yang panjang dalam qiyamullail mereka. Ada salah seorang dari mereka yang diberi anugerah suara yang indah. Ia menangis di dalam shalat, dan menangis pulalah semua yang mengerjakan shalat bersamanya. Mereka semua dapat dijadikan sebagai teladan ~bagi yang mengenal mereka~ dalam urusan qiyamullail dan shiyam sunnah, juga semua bentuk ibadah. Siapa pun yang pernah bertemu dengan mereka saat itu pastilah berucap, “Mereka itu bagaikan malaikat berwujud manusia!”
Mereka, oleh karena banyaknya ibadah mereka dan tingginya ruh mereka, seakan-akan mereka berada di langit padahal mereka masih di bumi. Kiranya mereka dan orang-orang seperti merekalah yang menjadi sebab utama taufik Allah dalam salah satu ‘amaliyah jihadiyah terbesar dan sangat berbahaya di abad 20.. Selain itu, Allah telah menjadikan mereka diterima oleh penduduk bumi. Tidak ada seorang pun yang tidak suka kepada Khalid dan para pendampingnya, sampai-sampai musuh-musuh harakah Islamiyah, para muqallid, menghormati mereka. Mereka merasakan bahwa Khalid dan para sejawatnya memiliki kelebihan yang tidak mereka miliki dan bahwa kebaikan Khalid melingkar di leher mereka.
Saya dan beberapa ikhwah pernah berjumpa dengan salah seorang ulama amilin mujahidin yang tidak pernah kecolongan qiyamullail walau semalam. Setiap hari beliau mengerjakan 11 rekaat. Di dalamnya beliau baca satu juz penuh, dan beliau melipatgandakannya di bulan Ramadlan. Semua ini dengan catatan bahwa usia beliau sudah lanjut, beliau mengidap penyakit gula, hipertensi, dan beberapa penyakit lainnya. Di belakang beliau, kami ~waktu itu kami masih muda~ merasa kecapekan; bahkan terkadang ada di antara kami yang sengaja menghindar. Padahal sebenarnya kami bertugas untuk menemani beliau di rumah sakit selama beberapa hari saja, bukan untuk selamanya. Ikhwah yang menetap bersama beliau, tentu saja mengerjakannya secara kontinyu setiap malam. Karena itulah suatu hari setelah Syekh keluar dari ujian yang menimpa beliau, saya katakan kepada diri saya sendiri, “Sesungguhnya, faktor terpenting dari kesuksesan beliau adalah qiyamullail dan shiyam yang beliau kerjakan. Meskipun para dokter selalu memperingatkan beliau tentang shiyam yang beliau kerjakan itu, meskipun beberapa kali beliau mengalami dehidarasi sebagai akibat dari penyakit gula yang beliau derita...” Aku katakan kepada diriku lagi, “Kiranya rahasia kekuatan Syekh dalam menghadapi kebatilan dan rahasia ketegarannya dalam menghadapi pelbagai kesulitan dan siksaan di saat umur beliau sudah lebih dari 50 tahun, mata telah buta, dan beberapa penyakit ganas menggerogoti tubuh beliau, kiranya rahasia itu semua adalah qiyamullail. Beliau tiada henti memompa kekuatan demi kekuatan bagi hati sehingga tertanamlah semangat yang tinggi dan tekad yang membaja. Anda akan melihat, di dalam tubuh yang lemah dan badan yang kurus kering, terdapat ‘azam yang dapat meruntuhkan gunung-gemunung dan memporak-porandakan benteng pertahanan. Semua karena tadzallul beliau kepada Allah yang terus-menerus. Semua karena kekhusyu’an beliau, ketundukan beliau kepada Allah, dan ketakutan beliau hanya kepada Allah saja.”
Setiap orang yang beramal islami semestinyalah mengambil bagian dari sabda Nabi saw.
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
Dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.
Ada seorang salaf bertutur, “Aku sangat gembira ketika malam menjelma. Saat hidupku ‘kan segera terasa lezat, dan mataku menjadi sejuk oleh karena munajatku kepada Dzat yang aku cinta, dan karena kesendirianku bersama-Nya, serta tadzallulku di hadapan-Nya.”
Kabarnya, Abu Hurairah membagi malam menjadi tiga bagian; bagian istrinya, bagian putrinya, dan bagiannya sendiri. Dengan begitu ia sekeluarga telah menghidupkan keseluruhan malam.
Qiyamullail adalah saat mengadu bagi siapa saja yang aktif dalam amal islami. Qiyamullail adalah juga saat untuk berkeluh-kesah bagi mereka menghadapi kesulitan, beban yang berat, hambatan, rintangan, musibah, atau saat musuh menguasai mereka. Pada saat itulah ia berdiri di hadapan Rabbnya dan Penolongnya yang sebenarnya yang menguasai segala sesuatu, yang jika menghendaki sesuatu Dia akan berkata “Jadilah!” maka terjadilah yang dikehendaki-Nya itu. Ia tengah berdiri di hadapan-Nya, memohon kepada-Nya, mengharap kepada-Nya, dan mengadukan segala keluh, kesah, dan kesedihannya. Ia tengah memohon dan meminta perlindungan kepada-Nya. Maka, munajat itu akan menepis segala duka nestapa, gundah gulana. Bagaimana tidak, wong ia sudah menyerahkan urusannya kepada Raja diraja, Penguasa langit dan bumi!
Siapa pun yang aktif dalam amal islami semestinya mengerti bahwa kekhusyu’an dan ketundukannya kepada Allah di malam hari akan membuka pintu berbagai urusan, membuka pintu hatinya, dan menjadi faktor utama dari penerimaannya di muka bumi. Hanya dengan sedikit aksi dan upaya saja, bisa jadi orang-orang mendapatkan hidayah lewat tangannya. Bahkan terkadang tanpa sebab yang nyata. Barangsiapa berbuat ihsan di malam hari niscaya akan tercukupi di siang hari; dan barangsiapa berbuat ihsan di siang hari, niscaya akan tercukupi di malam hari.
Wahai saudaraku, sebenarnyalah qiyamullail adalah ‘madrasah utama’ yang akan mengajarkan kepadamu apa itu hati yang bening. Ia juga akan mendidikmu untuk meneteskan air mata taubat, khusyu’, dan ketundukan kepada Allah. Ia akan memberimu kekuatan baru untuk beramal islami dan bekal yang besar berupa tawakkal yang benar kepada Allah. Ia pun akan memberimu keberanian dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Qiyamullail akan menjadikan hatimu kuat dipenuhi oleh iman.
Hati adalah raja, anggota badan bala tentaranya. Jika sang raja baik dan kuat, bala tentara pun akan selalu mendapat kesuksesan dan kemenangan. Begitu pun sebaliknya. O..ya, hanyasanya manusia berjalan kepada Allah dengan hatinya bukan dengan anggota badannya, seperti dikatakan oleh para ulama.
Mungkin akan ada yang berkata, “Saya benar-benar disibukkan oleh amal islami, sehingga tidak tersisa waktu untuk qiyamullail.”
Kepada mereka saya katakan, “Mestinya anda semua mengerti bahwa:
Pertama, qiyamullail adalah amal islami juga, bahkan ia merupakan pokok dan pondasinya. Ia merupakan bekal terpenting bagi jamaah Islam dan daulah Islam. Karena itu pula mestinya anda semua mengerti bahwa,
Kedua, setiap ikhwan mesti melaksanakan qiyamullail. Jika waktunya longgar, badan sehat, dan jiwa bersemangat, hendaknya ia melaksanakan qiyamullail yang panjang, membaca satu juz penuh di dalamnya, ditambah memperbanyak doa di waktu sujud, serta memperbanyak dzikir lain secara umum. Jika waktunya sempit, badan kurang fit, dan jiwa pun kurang bersemangat, maka tidak mengapa ia mengerjakan qiyamullail yang pendek, atau dengan jumlah rekaat yang sama, namun hanya membaca surat-surat pendek. Membiasakan diri tidak mengerjakannya sama sekali atau meninggalkannya hampir setiap malam tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Hendaknya para ikhwah mengerti juga, bahwa sebuah jamaah ~apa pun~ jika kontinyu mengerjakan qiyamullail dalam segala keadaan; senang, susah, lapang, sempit, mudah, dan sulit, niscaya jamaah ini akan menjadi jamaah yang berarti. Dengan itu ia telah menegakkan amal islami yang agung dan bisa jadi itu lebih baik daripada amal-amal yang lain, meski pun banyak.
Saya juga mengingatkan bahwa, menyatukan antara amal islami, kekuatan, kesungguhan, dan kontinyuitas serta kesungguhan dalam qiyamullail, membutuhkan tekad yang bulat dan keyakinan yang kuat akan urgensi seluruh perkara ini dari para aktivis. Juga, hendaknya para aktivis senantiasa merenungkan ucapan ‘Umar bin Khathab, “Jika kuisi malamku dengan tidur sungguh aku telah menyia-nyiakan jiwaku, jika kuisi siangku dengan tidur, sungguh aku telah menyia-nyiakan rakyatku.”
‘Umar bin Khathab sangat terkenal dengan qiyamullailnya yang tiada bandingannya, meski ia tengah dirundung berbagai kesulitan. Masa itu, ‘Umar memimpin sebagian besar dunia. Bukti kesungguhannya dalam menjaga qiyamullail ini, adalah banyak sahabat dan tabi’in yang berusaha untuk meneladaninya dan bertanya-tanya bagaimana sebenarnya ‘Umar menegakkannya sampai ketika ia telah wafat.
Ada seorang sahabat yang mau menikahi 11 janda ‘Umar (tentu dengan tidak melanggar batasan 4 dalam satu waktu), tidak lain dan tidak bukan kecuali untuk mencari informasi bagaimana sebenarnya ‘Umar bin Khathab melaksanakan qiyamullail. Supaya ia bisa mencontohnya!
‘Utsman bin Affan, saat menduduki kursi kekhalifan dan memerintah dunia dari ujung ke ujung, biasa mengkhatamkan al-Qur`an dalam satu malam. Kabar ini benar dibawakan oleh para imam Islam yang agung dan bukan dalam rangka memuji dan melebih-lebihkan. Kepada orang-orang yang membunuh beliau sang istri berkata, “Terserah kepada kalian, mau kalian bunuh atau tidak. Yang jelas, demi Allah ia telah menghidupkan malam dengan membaca al-Qur`an dalam satu rekaat.”
‘Abdullah bin Zubeir, meski tanggung jawabnya amat berat, sebelum atau pun setelah memerintah, sungguh ibundanya, Asma` binti Abu Bakar radliyallahu ‘anhuma berkata, “Ibnu Zubeir adalah seorang qawwam di malam hari, shawwam di siang hari. Ia digelari pilar masjid.”
Mengapa kita mesti melangkah jauh?! Adalah Rasulullah saw yang tak pernah istirahat dari mengurus ummatnya, ia yang seluruh hidupnya dipenuhi dengan jihad melawan musuh-musuh Islam, senantiasa proaktif menyeru kepada Allah, mengajari ummatnya,dan mentarbiyah sahabat-sahabatnya, qiyamullailnya tak pernah kurang dari 11 atau 13 rekaat. Jika beliau sakit atau mendapati sesuatu yang menghalangi beliau dari melaksanakannya di waktu malam, beliau menggantinya di siang hari!
Maka, kepada para aktivis Islam, para da’i, para muhtasib, dan para mujahid, hendaklah mereka meneladani guru besar dan komandan agung mereka: Rasulullah saw.
Ringkas kata, qiyamullail adalah pohon besar dan rindang yang menaungi hati dan anggota badan sekaligus. Setiap saat pohon ini memberikan hasilnya dengan seizin Rabbnya..

BERDOALAH
KARENA DOA ITU SENJATA YANG AMPUH
Doa adalah senjata ampuh yang banyak dilupakan oleh harakah Islam dalam banyak kesempatan. Belum lagi doa itu sendiri merupakan salah satu ibadah yang utama, seperti ditegaskan dalam hadits .
Doa adalah senjata yang selalu tepat sasaran dan anak panah yang tidak pernah meleset. Doa juga merupakan ‘benteng berbenteng’ tempat berlindung setiap pribadi muslim dan juga jamaah Islam dari tipu daya musuh, kesewenangan mereka, dan kebengisan mereka.
Kepada siapa Anda akan memohon jika bukan kepada Allah?! Kepada siapa Anda akan meminta jika bukan kepada Pemilik segalanya?! Kepada siapa Anda akan mencari perlindungan jika bukan kepada Allah, pengatur langit dan bumi serta pemiliknya juga semua yang ada di keduanya?! Yang jika mengatakan tentang sesuatu ‘Jadilah!’, maka terjadilah sesuatu itu?!
Dengan dzikir dan doa setiap muslim pada umumnya dan para aktivis Islam khususnya, bersimpuh di hadapan Rabbnya dan Penolongnya seperti bersimpuhnya seorang budak di hadapan tuannya.
Betapa banyak kebutuhan para aktivis kepada Rabb mereka, berkenaan dengan urusan dunia mereka maupun akhirat mereka; urusan dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, harakah, jihad, kesulitan, kemudahan, kesempitan, kelapangan, perang, dan juga perdamaian.
Apabila kaum jahiliyah telah memasang ‘kuda-kuda’ untuk berseteru dengan Islam dan orang-orang Islam, apabila mereka telah menghunuskan semua senjata untuk menghadapi mereka… maka wajiblah bagi sebuah jamaah Islam untuk tidak lalai sedetik pun dari senjata doa yang sangat amat tajam ini.
Sebuah jamaah Islam mestinya juga mengerti bahwa api kemenangan hanya turun di saat hati para pasukan tengah bergetar ~seperti kata Ibnul Qayyim~. Rasulullah saw saja terus beristighatsah kepada Rabbnya saat perang Badar. Beliau berdoa dengan sungguh-sungguh sampai rida` (kain penutup tubuh bagian atas) beliau terjatuh. Ketika itulah Abu Bakar berkata kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, Cukup sudah kiranya permohonanmu kepada Rabb-mu. Sungguh, Dia akan mewujudkan apa yang telah Dia janjikan.”
Dan senjata doa pun melesat terarah kepada orang-orang musyrik, mengguncang singgasana mereka
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
Al-Anfal : 17
Di kala hijrah Rasulullah saw melepaskan dua batang anak panah doa tertuju kepada Suraqah. Bersamaan dengan setiap batang anak panah doa itu kuda Suraqah terjerembab ke dalam pasir dan kuda itu tidak dapat berdiri lagi sampai akhirnya Suraqah berjanji untuk tidak mengejar Rasulullah saw dan sahabatnya, membiarkannya berlalu sekehendak keduanya .
Apabila seorang muslim sudah terbiasa dengan banyak berdoa dan berdzikir kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Ada ungkapan, “Barangsiapa mengetuk pintu, hampir-hampir pintu terbuka untuknya.”
‘Umar bin Khathab berkata, “Bukan karena ingin terkabul aku berdoa, tetapi karena aku ingin berdoa maka aku berdoa. Dan manakala aku mendapat ilham untuk berdoa, terkabulnya doa itu senantiasa menyertainya.”
Kiranya ‘Umar menyitir firman Allah
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Al-Mukmin : 60
Yahya bin Mu’adz berkata, “Barangsiapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdoa, niscaya doa itu tidak akan ditolak.”
Ibnul Qayyim bertutur, “Apabila hatinya hadir, kebutuhannya benar-benar mendesak, dan pengharapannya tinggi… hampir-hampir doa itu tidak akan ditolak.”
Doa adalah pangkal dari segala kebaikan. Ia juga pangkal kemenangan, solusi, hidayah, dan juga taufiq dalam segala aspek amal islami; dakwah, tarbiyah, hisbah, dan jihad..
Disebabkan oleh doa, Nabi Nuh beserta orang-orang yang beriman bersamanya diselamatkan oleh Allah, dan orang-orang kafir ditenggelamkan.
فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّيْ مَغْلُوْبٌ فَانْتَصِرْ فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءَ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ وَفَجَّرْنَا اْلأَرْضَ عُيُوْنًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ تَجْرِيْ بِأَعْيُنِنَا جَزَاءً لِمَنْ كَانَ كُفِرَ
al-Qamar : 10-14
Disebabkan oleh doa pula, Nabi Yunus selamat dari perut ikan paus, setelah tiga malam berada di dalam kegelapannya.
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ
al-Anbiya` : 87-88
Disebabkan oleh doa, kesulitan yang menimpa Nabi Ayyub diangkat oleh Allah.
وَأَيُّوْبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِيْنِ
al-Anbiya` : 83-84
Disebabkan oleh doa, Nabi Musa diselamatkan oleh Allah dari Fir’aun dan antek-anteknya.
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
al-Qashash : 21
Allah juga memberikan taufiq kepada Musa sehubungan dengan dakwahnya kepada Fir’aun dan antek-anteknya, disamping Dia juga meneguhkannya di hadapan mereka. Sungguh posisi Musa saat itu benar-benar posisi yang sulit dan berat. Sampai sejauh mana hal itu, hanya dapat dipahami oleh mereka yang berani menyuarakan kebenaran di mana pun, kapan pun.
رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْلِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ
Thaha : 25-28
Disebabkan oleh doa, Allah menghancurkan dan membinasakan Fir’aun beserta antek-anteknya, kemudian menguasakan Bani Israil di muka bumi.
وَقَالَ مُوْسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلأَهُ زِيْنَةً وَأَمْوَالاً فِي الْحَيَوةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوْا عَنْ سَبِيْلَكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالَهُمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوْبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُوْا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ اْلأَلِيْمَ قَالَ قَدْ أُجِيْبَتْ دَعْوَتُكُمَا
Yunus : 88-89
Contoh lainnya masih banyak sekali. Yang jelas doa adalah pangkal dari segala kebaikan dan penangkal segala keburukan. Ia juga faktor utama diturunkannya rahmat, diangkatnya segala kesulitan, serta pintu gerbang kemenangan dan kejayaan.

CATATAN PENTING SEPUTAR DOA
Sekarang kita bukannya berbicara tentang syarat, adab, lafaz doa, ataupun yang berkaitan dengan masalah itu. Pembicaraan tentang semua hal tersebut bukan di sini tempatnya, sebagaimana sama-sama kita ketahui.
Dalam kesempatan ini saya hanya akan memberikan beberapa catatan tentang perkara-perkara yang sifatnya praktis berkenaan dengan masalah doa ini. Ada beberapa catatan, sebagai berikut:
• Seorang ikhwah hendaknya memanjatkan doa, memohon taufik, dan meminta pertolongan dari Allah setiap akan memulai aktivitasnya, sekecil apa pun amal yang akan dilakukannya. Jika hal ini telah menjadi bagian dari kebiasaan, insya Allah target yang diharapkannya akan selalu tercapai.
Para sahabat terbiasa memohon kepada Rabb mereka jika tali sandal salah seorang dari mereka terputus.
Jika Anda ingin mendoakan seseorang supaya beriltizam, maka memohonlah kepada Allah supaya ia mendapatkan hidayah-Nya di tanganmu.
Jika Anda berangkat untuk berdakwah di suatu desa atau kota, maka berdoalah dulu.
Jika Anda merancang langkah-langkah dalam dakwah, perbanyaklah doa supaya langkah-langkah itu benar-benar penuh berkah dan banyak membawa manfaat.
Jika Anda hendak berangkat berperang, lipatgandakan doamu sekian kali lipat dibandingkan doa yang Anda panjatkan dalam berbagai urusan dakwah. Mohonlah supaya Allah memenangkan Islam, menolongmu, dan memberkatimu dalam perang dan jihadmu..
• Ada satu fenomena yang memprihatinkan yang dapat saya saksikan. Saya pernah mendapati sebuah jamaah yang hampir-hampir tidak mempersenjatai diri dengan doa. Saya melihat bahaya besar berada di hadapan jamaah Islam.
Jika Anda menjumpai banyak ikhwah aktivis di kota Anda, misalnya, bermain sepakbola di penghujung siang pada hari Jumat, atau mengisinya dengan obrolan santai, atau membicarakan urusan dunia dan kesibukannya, atau masalah-masalah yang tidak begitu urgen, atau sebenarnya bisa ditunda selama beberapa hari atau beberapa pekan tanpa menimbulkan mudlarat, atau menyibukkan diri dengan urusan dunia yang mungkin bisa diakhirkan… jika Anda mendapati hal itu dan mereka bukannya menyibukkan diri pada saat mulia itu ~saat dikabulkannya doa, dzikir, dan shalawat~ dengan doa, sesungguhnya Anda tengah menyaksikan para aktivis yang tidak mempedulikan senjata utamanya dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Anda tengah menyaksikan ada sesuatu yang keliru dan kurang dalam tarbiyah imaniyah yang diterapkan atas mereka. Sesungguhnya mereka tidak mengerti sama sekali keutamaan dan nilai waktu pada saat itu. Mereka tidak tahu bahwa menyia-nyiakannya sama dengan menyia-nyiakan kebaikan yang banyak dan keuntungan yang sangat besar, yang tak tergantikan selama-lamanya.
Kenyataan yang sama dapat Anda saksikan ketika beberapa ikhwah mengerjakan hal yang sama di hari yang agung semisal hari ‘Arafah. Khususnya jika mereka berbuka, tidak berpuasa.
Begitu pula dengan 10 hari terakhir dari bulan Ramadlan, terkhusus malam-malam ganjilnya. Pada waktu itu, sepantasnyalah seorang aktivis untuk menghidupkan seluruh malam sekuat kemampuannya dengan shalat, ibadah, dzikir, doa, berbuat kebajikan, dan tasbih, serta menghindari selain dari itu semua.
Saya pernah memperhatikan bahwa setan ~semoga Allah melindungi kita darinya~ datang pada saat-saat yang sangat berharga itu untuk memalingkan ikhwah dari doa, dzikir, dan ibadah, serta menyibukkan mereka dengan perkara-perkara yang remeh. Mungkin ada sebagian aktivis yang lebih mengutamakan suatu urusan yang sepele dan tidak berhubungan banyak dengan saat i’tikafnya di 10 hari terakhir, atau mengganggu rekan-rekan yang lain dengan banyak berdebat dan adu mulut dengan suara yang keras pada malam yang agung, malam-malam ganjil. Lalu perdebatan itu berlanjut sampai terbit fajar, dan mereka pun keluar dari masjid sebagai orang-orang yang merugi, tidak memperoleh keuntungan walau cuma sepeser. Mereka telah menyia-nyiakan masa 83 tahun lebih karena kejahilan mereka terhadap kemuliaan malam itu!
• Fenomena lain yang juga memprihatinkan, ada sebagian aktivis jika ditimpa musibah, kecelakaan, atau ujian, mereka membicarakannya berhari-hari. Topiknya: apa penyebabnya, mengapa itu bisa terjadi, bagaimana kejadiannya, siapa saja yang terkait, bagaimana kisah lengkapnya, dan seterusnya dan seterusnya…
Mereka sibuk dan larut dalam perdebatan yang panjang padahal mereka bukan para pengambil ~dan bukan ahli~ keputusan. Pada saat yang kritis itu mereka juga tidak berupaya untuk memperbanyak doa, dzikir, bersimpuh di hadapan Allah, menghinakan diri di hadapan keagungan-Nya, memperbanyak amal kebajikan melebihi dari yang sebelumnya, dan melaksanakan taubat yang menyeluruh dari segala dosa yang telah lewat.
Sebenarnyalah saya pernah hidup bersama orang-orang yang tidak pernah berhenti dari doa, baik di kala sendiri maupun saat bersama. Jika mereka atau salah seorang dari ummat Islam ~walau di ujung dunia~ tertimpa musibah, mereka berkumpul. Kemudian saat itu juga mereka mempersilakan yang paling shalih di antara mereka untuk mendoakan mereka yang tertimpa musibah sedangkan mereka semua mengamininya. Jika salah seorang dari mereka hampir mengkhatamkan bacaan al-Qur`an ~padahal setiap hari ada saja yang mengkhatamkannya~ maka ia pun mengumpulkan rekan-rekannya supaya mereka berkesempatan untuk berdoa kepada Allah bersamanya saat ia mengkhatamkan bacaannya. Ia berdoa dan rekan-rekannya mengamininya. Jika ada yang sakit, tiga atau empat orang dari mereka akan membezuknya dan mendoakannya dengan doa-doa yang ma`tsur. Jika saat-saat dikabulkannya doa tiba ~di penghujung siang pada hari Jumat, misalnya~ sendiri-sendiri atau berkumpul mereka berdoa. Saat hujan turun mereka berdoa. Jika mereka mendapatkan nikmat, solusi, atau kemenangan ~sekecil apa pun~ niscaya mereka memuji Rabb mereka, bersyukur kepada-Nya, dan memohon kepada-Nya supaya ditambahkan kepada mereka fadl-Nya. Dapat disaksikan juga, mereka bersujud dalam rangka bersyukur kepada Allah hanya karena mendengar berita datangnya nikmat itu… Demikianlah, doa telah menjadi karakter dan tabiat mereka. Mereka melakukannya tanpa merasa terbebani sedikit pun. Mereka benar-benar kawan dan sahabat yang sangat mulia.
• Ajaib sekali, jika Anda mendengar ada seorang aktivis yang sama sekali tidak mendoakan kedua orang tuanya; baik kala keduanya masih hidup maupun setelah kematian keduanya. Saya pernah mendapati seorang aktivis yang telah ditinggal mati oleh salah seorang atau kedua orang tuanya selama sekian tahun, namun selama itu pula tidak satu doa pun dipanjatkannya untuk keduanya. Sungguh, ini adalah musibah besar! Ini sama saja dengan durhaka kepada keduanya..
• Mencengangkan juga, ada seorang aktivis yang salah seorang syekhnya meninggal dunia, atau komandannya atau gurunya yang telah mengajarinya urusan dien selama bertahun-tahun, namun sekali pun ia tidak mendoakannya atau memohonkan ampun untuknya! Apa lagi ini jika bukan juhud dan ingkar?!
Seberapa berat sih, beban yang dituntut dari mendoakan saudara atau syekh? Tidak berat sama sekali! Belum lagi bahwa jika Anda berdoa Anda pulalah yang akan memetik faedah atau manfaat dari doa itu. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Darda` ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
Doa seorang muslim bagi saudaranya di saat terpisah darinya akan dikabulkan. Di dekat kepalanya ada malaikat yang bertugas. Setiap kali ia memohon kebaikan bagi saudaranya, malaikat yang bertugas itu akan berkata, ‘Amin, dan semoga kamu pun mendapatkan yang semisal dengannya!’
Kabarnya, Imam Ahmad senantiasa mendoakan ustadznya, Imam Syafi’i, setiap usai menunaikan shalat. Pernah beliau berkata kepada putra Imam Syafi’i, “Ayahmu termasuk enam orang yang selalu aku doakan setiap kali sehabis shalat.”
Mestinya seorang aktivis Islam mengingat orang-orang yang telah banyak berjasa untuk Islam dalam setiap doanya. Orang-orang yang meninggalkan pengaruh yang nyata dalam kehidupan kaum muslimin; seperti orang yang pertama kali menyuarakan Islam di negerinya, di universitasnya, atau di kotanya, misalnya.
Adalah Ka’ab bin Malik selalu mendoakan dan memohonkan ampunan bagi As’ad bin Zurarah setiap kali ia mendengar adzan Jum’at. Suatu saat anaknya bertanya, “Wahai Ayah, mengapa setiap kali mendengar adzan Jum’at Ayah selalu mendoakan Abu Umamah?” “Wahai anakku, beliau adalah orang yang pertama kali mengimami shalat Jum’at kami di Madinah.”, jawabnya. Putranya bertanya lagi, “Berapa jumlah kalian waktu itu?” “Empatpuluh orang laki-laki.”, jawabnya.
Seorang aktivis mestilah senantiasa mendoakan qaid beserta orang-orang yang ada di sekitarnya secara khusus, dan para pemimpin Islam pada umumnya. Begitu pula dengan orang-orang yang aktiv untuk meninggikan Islam dan memperjuangkan kejayaan kaum muslimin.
Seorang aktivis haruslah rutin mendoakan kaum muslimin yang berada di dalam penjara di seluruh dunia. Mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk didoakan. Mereka berada dalam ujian berat dan kesulitan besar. Mereka berada di tangan musuh yang melakukan apa saja yang mereka mau.
Rasulullah saw pernah memanjatkan doa qunut selama sebulan penuh untuk tiga orang sahabat yang tertawan di Mekah. Kaum musyrikin Mekah menyiksa mereka dan memaksa mereka untuk murtad. Di antara doa yang beliau panjatkan berbunyi, “Ya Allah, selamatkan Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bin Abu Rabi’ah.”
Para aktivis mestinya juga mendoakan kecelakaan bagi musuh-musuh Islam dan orang-orang Islam yang memerangi Islam serta menghalangi jalan Allah; juga bagi tokoh-tokoh kafir dan sekuler, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Selama sebulan penuh juga beliau mendoakan Ri’al, Dzakwan, dan ‘Ushayyah yang telah mengeksekusi, membunuh sahabat-sahabatnya di sumur Ma’unah . Beliau juga mendoakan Kisra, penguasa Persia. Ketika ia merobek-robek surat Rasulullah saw, beliau berdoa kepada Allah supaya Dia meluluhlantakkan kerajaannya .
Saya kagum dengan apa yang dilakukan oleh sesepuh kita, Bilal bin Rabah setiap pagi. Seorang wanita Anshar dari Bani Najjar mengisahkannya. Katanya, “Rumahku adalah rumah yang paling tinggi di antara rumah-rumah yang ada di sekitar masjid. Bilal biasa mengumandangkan adzan Shubuh dari atas rumahku. Ia biasa datang pada waktu sahur (beberapa menit sebelum adzan, pent.), duduk di atas rumah menunggu waktu fajar. Jika ia telah melihatnya, ia pun berdiri sambil berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memuji-Mu dan memohon pertolongan-Mu untuk kehancuran orang-orang Quraisy dalam menegakkan dien-Mu.’ Setelah itu barulah ia mengumandangkan adzan.”
Doa memohon bencana atas thaghut, pemimpin-pemimpin kufur, bala tentara mereka, dan antek-antek mereka sangatlah urgen. Banyak hadits memberitakannya; yang paling masyhur adalah doa Rasulullah saw

Ya Allah, yang telah menurunkan al-Kitab, yang menggerakkan awan, dan sangat cepat hisab-Nya, hancurkanlah sekutu-sekutu itu!
Masih banyak lagi doa-doa lain yang terpampang dalam kitab-kitab doa dan dzikir. Anda dapat merujuknya, semuanya.
Saya pernah dibuat takjub oleh seorang aktivis muda, baru duduk di bangku SMU, sebelah tangan dan kakinya invalid. Setiap kali ia merasakan kesulitan dalam berjalan, ia berdoa memohon bencana atas Fir’aun masa ini dan para menterinya.
• Kepada para aktivis, hendaknya tidak lupa untuk mendoakan masyarakat awam supaya mereka mendapatkan hidayah, petunjuk, dan kembali ke jalan kebenaran, jalan yang lurus. Jangan lupa juga untuk mengkhususkan doa bagi para pemuda Islam. Semua ini dalam rangka meneladani doa Nabi saw

Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti.
Beliau juga pernah memanjatkan doa ini
اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا
Ya Allah, tunjukilah kabilah Daus.
Masih banyak sekali atsar berkenaan dengan masalah ini, semuanya menjelaskan besarnya kasih sayang Nabi kepada ummatnya, kecintaannya untuk memberi petunjuk bagi mereka, dan kuatnya keinginan beliau terhadap mereka. Bagaimana tidak, sedangkan Allah telah berfirman,
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَنْ لاَ يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
as-Syu’ara : 3
Mestinya hal ini melimpah ruah dalam diri setiap aktivis Islam.

MENGAPA DOA TIDAK (SEGERA) TERKABUL
Di sini saya ingin mengingatkan para aktivis akan suatu hal yang teramat penting. Sangat mungkin ada di antara Anda sekalian yang berdoa kepada Rabbnya, memohon sesuatu, ia terus berdoa dan berdoa, namun selama itu ia tidak segera mendapati doanya terkabul, lalu saat itu juga ia berhenti berdoa dan berputus asa, merasa tidak akan terkabul selamanya. Sesungguhnya inilah larangan Rasulullah saw dalam sabda beliau,
يُسْتَجَابُ ِلأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ فَيَقُوْلُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّيْ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ
Seseorang dari kalian akan terkabul (doanya) selama ia tidak tergesa-gesa, mengucapkan kalimat, “Sungguh, aku telah memohon kepada-Mu, wahai Rabbi, namun belum juga terkabul.”
Dalam riwayat Muslim; seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu tergesa-gesa?” Beliau menjawab, “Mengatakan ‘Aku telah banyak berdoa tetapi aku tak kunjung melihatnya terkabul.’ lalu ia merasa rugi.”
Hendaknya diketahui bahwa ada banyak faktor keterlambatan terkabulnya sebuah doa. Dan mesti diingat juga bahwa Allah memiliki hikmah di balik keterlambatan ini. Di antara hikmah tersebut sebagai berikut:
Pertama, bisa jadi dikarenakan Anda belum memenuhi syarat wajib doa; tidak menghadirkan hati, waktunya kurang tepat, kurang khusyu’, kurang khudlu’, kurang tadzallul, dan kurangnya adab-adab serta syarat-syarat yang lain.
Kedua, bisa jadi dikarenakan suatu dosa hal mana Anda belum bertaubat darinya, atau taubat Anda belum sungguh-sungguh. Bisa jadi juga dikarenakan adanya syubhat dalam makanan dan minuman Anda atau adanya suatu kezhaliman yang pernah Anda lakukan dan Anda belum sempat meminta maaf kepada pihak yang terzhalimi. Semestinyalah Anda memenuhi semua syarat taubat nashuha dan mengembalikan hak-hak hamba kepada pemiliknya. Ini semua adalah faktor utama tertundanya ijabah. Telah dinyatakan dalam sebuah hadits, “Wahai Sa’ad, makanlah hanya yang halal, niscaya doa-doamu akan terkabul.”
Telah dinyatakan pula dalam sebuah hadits shahih, “Kemudian beliau menyebut ada seseorang dengan rambut acak-acakan dan tubuh penuh debu mengangkat tangannya ke langit seraya memohon, ‘Duhai Rabbi, duhai Rabbi!’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram, lalu bagaimana bisa doanya dikabulkan?!”
Karena itu semua, seharusnya Anda bersihkan jalan menuju ijabah dari berbagai kotoran dosa.
Ketiga, bisa jadi Allah menyimpan pahala doa itu dan memberikannya kepada Anda kelak di akhirat. Atau bisa jadi dengan doa itu sesuatu yang buruk yang sepadan dengan pahala doa Anda, disingkirkan dari diri Anda.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap muslim yang berada di muka bumi ini yang berdoa kepada Allah pasti akan dikabulkan-Nya atau disingkirkan suatu keburukan yang sekadar dengannya, selama ia tidak memohon suatu dosa atau memutus tali silaturrahim.” Ada seseorang yang berkomentar, “Wah, kalau begitu kita perbanyak doa saja!” “Dan Allah pun akan memperbanyak.”, tambah Nabi kemudian.
Dalam riwayat al-Hakim ada tambahan, “Atau pahalanya disimpankan untuknya.”
Saudaraku, bisa jadi hal-hal tersebut jauh lebih baik bagimu daripada terkabulnya doamu; sebab dengan disimpannya pahala doa di akhirat, sungguh hal itu akan meninggikan derajatmu kelak pada hari kiamat. Hari itu kamu akan sangat bergembira karenanya dan kamu akan berharap andai saja semua doamu tidak dikabulkan dan pahalanya disimpan di akhirat.
Keempat, penundaan ijabah adalah satu ujian baru dari Allah bagi seorang hamba untuk mengukur kadar imannya dan memurnikannya. Ketika doa tidak segera dikabulkan setan akan datang meniupkan rasa was-was dan berbisik, “Yang pemurah itu luas dan yang bakhil itu tidak punya apa-apa, lalu apa faedah penundaan ijabah?” dan seterusnya dan seterusnya.
Saat itu juga seorang mukmin mesti melawan hembusan was-was itu dan menepisnya dari dirinya dengan berbagai macam cara. Saat itu juga ia harus mengingat bahwa seandainya rahasia penundaan ijabah hanyalah ujian dari Allah bagi seorang hamba untuk memerangi Iblis si musuh Allah dan musuhnya, itu pun sudah cukup..
Kelima, salah satu hikmah penundaan ijabah, supaya seorang muslim mengerti akan adanya suatu hakekat yang amat penting; bahwa ia adalah hamba Allah dan bahwa Allah adalah Malik, Sang Pemilik. Sang Pemilik memiliki hak untuk mengatur semua miliknya, menahan sesuatu atau memberikannya. Jika Dia memberikannya maka itu merupakan anugerah dari-Nya, dan jika Dia menahannya maka itu karena keadilan-Nya dan Dia memiliki alasan untuk itu…
Juga, supaya Anda tahu bahwa Anda bukanlah buruh yang bisa marah jika gajimu tidak diberikan.
Supaya Anda juga tahu makna sabda nabi saw pasca perjanjian Hudaibiyah, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan diriku selamanya.”
Saat terjadi penundaan ijabah, saat itulah iman dimurnikan dan akan menjadi jelaslah beda antara mukmin sejati dengan selainnya. Seorang mukmin di saat ijabah tertunda, hatinya tidak akan berubah dalam menghadap Rabbnya, sebaliknya justru ‘ubudiyyahnya kepada Allah ‘azza wa jalla akan semakin bertambah.
Saat itu hendaknya seorang muslim mengingat bahwa sejak Ya’qub as kehilangan anak kesayangannya, Yusuf, ia terus berdoa meski ijabah atas doanya tertunda lama sekali. Diriwayatkan, ia terus-menerus berdoa selama 40 tahun. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan ujiannya bertambah. Ia kehilangan anaknya yang satu lagi, Bin-yamin, dan matanya memutih, buta, karena sedih. Namun demikian, ia yakin bahwa jalan keluar dari Allah sudah sangat dekat. Ia berucap, “ “ (Yusuf : 38)
Jalan keluar itu datang dari sisi Allah. Allah kembalikan matanya, Yusuf dan Bin-yamin sekaligus.
Keenam, mungkin saja terhalangnya Anda dari ijabah itu menjadi sebab Anda senantiasa berdiri di hadapan Allah, terus-menerus merendahkan diri dan bersimpuh di hadapan-Nya. Mungkin saja jika permohonan Anda dikabulkan Anda akan menyibukkan diri dengannya dan lalai kepada Allah, lalu Anda lupa untuk memohon dan berdoa kepada-Nya, padahal doa itu adalah inti ibadah.
Inilah keadaan kebanyakan kita. Buktinya, Anda baru bersimpuh di hadapan-Nya di saat menghadapi ujian ~menyitir penuturan Ibnul Jauzi~ saja.
Dus, semua yang menjadikan Anda berpaling dari Allah adalah musibah, dan semua yang menjadikan Anda berdiri menghadap-Nya adalah kebaikan.
Ibnul Jauzi mengisahkan Yahya al-Bakka` (yang banyak tangis) pernah bermimpi bertemu Rabbnya ‘azza wa jalla dalam mimpi lalu ia bertanya, “Duhai Rabbi, sekian lama aku berdoa mengapa tak kunjung dikabulkan?” Lalu Allah berfirman, “Wahai Yahya, karena Aku suka mendengar suaramu.”
Ketujuh, bisa jadi jika doamu dikabulkan akan muncul suatu dosa atau akan datang suatu madlarat dalam dienmu, atau akan hadir fitnah bagimu. Bisa jadi apa yang Anda minta ~secara lahir~ berupa kebaikan namun hakekatnya adalah keburukan. Terlebih bagi siapa-siapa yang hanya berdoa dengan doa-doa khusus dan meninggalkan doa-doa yang ma`tsur.
Diriwayatkan ada sebagian salaf yang memohon kepada Allah untuk diberi kesempatan berperang. Tiba-tiba terdengar suara, “Jika kamu berperang, kamu akan tertawan, dan jika kamu tertawan kamu akan menjadi Nasrani.”
Kepada setiap aktivis, hendaknya selalu memperhatikan doa-doa umum, doa-doa yang bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah.. Semua yang tersebut di muka mengingatkan kita akan firman Allah
وَيَدْعُ اْلإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ اْلإِنْسَانُ عَجُوْلاً
al-Isra` : 11
Kedelapan, sesungguhnya tiap-tiap doa itu ada masa dan ukurannya. Tidaklah masuk akal jika hari ini Anda memohon kepada Allah supaya Dia menegakkan khilafah islamiyyah rasyidah lalu Anda berharap akan menyaksikannya esok hari. Doa yang agung semacam ini ada takaran, ukuran, syarat, sebab, dan upaya-upaya yang harus diikuti dengan kerja yang keras, usaha yang sungguh-sungguh, dan pembinaan generasi secara sempurna. Tidak terbayangkan ada seseorang dari kita memanjatkan doa semacam ini lalu ia mengharap hal itu akan terwujud dalam beberapa hari. Sebagian mufassir mejelaskan bahwa waktu antara doa Musa berikut, “Yunus : 88” dengan ijabahnya “Yunus 89” adalah 40 tahun persis.
Jika kita renungkan ini; orang yang berdoa adalah Musa as, salah seorang Rasul Ulul ‘Azmi yang utama, yang mengamini adalah Harun as, seorang Nabi yang mulia, syarat-syarat doa dan adab-adabnya telah terpenuhi semuanya, dan yang didoakan adalah Fir’aun beserta para pengikutnya ~tidak ada yang lebih zhalim, fasiq, dan kafir daripada mereka saat itu~; meskipun demikian, ijabah tertunda! Sungguh itu adalah masa dan ukuran bagi doa ini, doa yang bukan sembarang doa!
Poin ini sangatlah penting bagi orang yang mau mentadabburinya dan merenungkannya.

PERBAHARUILAH IMANMU
Wahai saudaraku yang mulia, perbaharuilah selalu imanmu dari waktu ke waktu... Pembaharuan ini sangat penting bagi setiap muslim umumnya dan para aktivis pada khususnya. Mengapa? Karena seorang aktivis Islam sangat mungkin disibukkan dengan amal dakwah, manajemen berbagai urusan dan kebutuhan, serta memikirkan semuanya. Atau juga disibukkan dengan banyaknya kerja nyata dalam amal islami ataupun upaya untuk menghadapi musuh dengan bermacam metode yang disyariatkan Islam.
Amal-amal di atas sangat mungkin menyita waktu sehingga tiada lagi waktu bagi amal hati serta perhatian yang seharusnya diberikan kepadanya.
Sungguh, seorang muslim berjalan menuju Allah dengan hatinya, bukan dengan anggota badannya. Kedudukan anggota badan dalam kebaikan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai reflektor dari shalihnya hati dan himmah (keinginan)nya untuk melakukan kebaikan itu. Tersitanya waktu ini tentunya dapat mengakibatkan taqshir, berkurangnya intensitas dan kualitas, sehingga akan berkuranglah sebagian dari makna iman batin dari hati, keihklasannya kepada Allah, misalnya. Mungkin saja pada suatu masa, seorang aktivis akan mencari-cari keikhlasan yang pernah dimilikinya di awal-awal iltizamnya.
Ada beberapa hal yang mungkin berkurang dari seorang aktivis; kejujuran, keyakinan, kezuhudan, tawakkal, khasyyah, inabah, ketundukan, dan mahabbahnya. Bisa saja seorang aktivis ~setelah masa berlalu beberapa saat~ mengandaikan kondisi hatinya dapat kembali seperti saat ia beriltizam pertama kali bersama para ikhwan. Semua ini hadir sebagai buah dari sikap meremehkan amalan hati. Anda akan melihat ~setelah masa berlalu beberapa saat~ ada aktivis yang terlalu banyak mengobrol tanpa ada urgensinya, ada yang terlalu banyak melakukan hal-hal yang mubah semisal banyak makan dan banyak gaul tanpa ada mashlahat diniyah, banyak tidur dan malas, tidak mengupayakan manajemen waktu, serta membiarkannya berlalu tanpa ada faedah atau mashlahat syar’iyyah. Ya, walaupun yang ia kerjakan bukan sesuatu yang haram atau makruh sekalipun. Ini semua penyebabnya adalah taqshir (kemalasan dan ketidakseriusan), termasuk hal mubah yang banyak menyita waktu tanpa imbalan dien dan bahkan dunia. Yaitu meremehkan perintah Rasulullah saw yang telah menyeru kepada setiap muslim untuk memperbaharui imannya apapun kelas imannya, apa pun amalnya dan setinggi apa pun kedudukannya di dalam sebuah jamaah Islam. Beliau telah bersabda
جَدِّدُوْا دِيْنَكُمْ
Perbaharuilah dien kalian!
Beliau juga sering sekali bersumpah dengan mengucapkan kata
لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِِ
Tidak, demi (Dzat) yang membolak-balikkan hati.
Saya telah mendapati banyak sekali fenomena ‘futur’ pada diri sebagian aktivis Islam atau keterpurukan mereka dalam kubangan syubhat dan syahwat disebabkan mereka kurang memperbaharui iman. Dan ini adalah tanggungjawab bersama antara pribadi, qaid, dan jamaah itu sendiri..
Banyak pula kita jumpai aktivis-aktivis yang telah mencapai prestasi yang baik dalam beriltizam dan beramal di dalam Islam, pun telah pula menghabiskan sebagian dari umur mereka untuk sesuatu yang penuh arti, ... namun tiba-tiba saja mereka terpuruk, berbalik 180 derajat... Semua itu menjadi suatu kepastian dikarenakan oleh taqshir dalam amal hati. Ya, bagaimana mungkin ia dapat berjalan menuju Allah sementara hatinya diam tidak bergerak, berhenti di tengah jalan, dan bekal yang dimilikinya telah habis tanpa sempat mencari yang lainnya?!
Bekalnya terdahulu telah habis bersamaan dengan sampainya ia ke satu jenjang tertentu dari perjalanannya menuju Allah. Kini tiada yang tersisa dan tepuruklah sang hamba di atas ‘kesuksesan’ yang menjerumuskan: tipuan syubhat dan hinanya syahwat.
Lebih dari itu, kebanyakan ‘hambatan’ yang muncul begitu saja menghadang seorang aktivis di tengah jalan kebanyakannya kembali kepada kurangnya amal hati dan kurangnya perhatian untuknya berkait dengan makna-makna iman. Hambatan internal itu bisa berupa; cinta dunia, mementingkan diri sendiri yang menggantikan itsar, loba dan tamak yang menggantikan zuhud dan wara’, keras dan kasar kepada orang-orang yang beriman yang menggantikan kasih-sayang dan lemah-lembut kepada mereka, memberikan loyalitas kepada orang-orang zhalim yang menggantikan loyalitas kepada orang-orang yang beriman, ‘ujub dan kibr (sombong) yang menggantikan tawadlu’, serta tinggi hati yang menggantikan keikhlasan... Padahal tanpa makna iman ini hati tidak akan dapat hidup... Semua kembali kepada sikap meremehkan masalah pembaharuan iman, baik dari diri pribadi, qaid, maupun jamaah. Mereka semua bertanggungjawab bersama dalam masalah ini.
Adalah tafsir syekh ‘alim yang membuat saya terkagum-kagum berkaitan dengan firman Allah
يَاءَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا ءَامِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَالْكِتاَبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
an-Nisa’ : 136
Dalam salah satu daras beliau, di hadapan para ikhwan beliau mengatakan, “Bagaimana bisa al-Qur`an menuntut keimanan dari orang-orang yang beriman sedangkan mereka telah beriman? Bahkan khithab ayat tersebut berbunyi ‘Hai orang-orang yang beriman!’? Apa sebenarnya makna iman yang dituntut oleh al-Qur`an ini?” Lalu beliau melanjutkan, “Sesungguhnya ayat ini menuntut mereka untuk senantiasa memperbaharui iman. Yang demikian itu karena memang iman memerlukan pembaharuan dari waktu ke waktu.”

BAGAIMANA MEMPERBAHARUI IMAN
Akan tetapi...bagaimana cara kita memperbaharui iman?
Jawaban tuntas dari petanyaan ini tentunya bukan pada lembaran-lembaran dan risalah tipis ini. Namun secara sekilas kita dapat membahas sebagiannya. Yah, sekedar menunjukkannya .... siapa tahu dapat mencukupi untuk sementara waktu...
Manusia yang mendapat taufiq adalah mereka yang memahami substansinya, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain.
Urusan memperbaharui iman adalah adalah urusan yang mudah bagi mereka yang dimudahkan oleh Allah dan serius mempersiapkan hati, jiwa, dan ruhnya untuk itu.
Ada banyak wasilah yang dapat membantu seorang hamba di dalam memperbaharui imannya. Di antaranya; berziarah kubur dan mengunjungi orang-orang yang shalih lagi bertakwa: para ulama terpercaya, para mujahid, dan para mukhlishin. Juga, membaca sirah as-salafusshalih, sirah para ahli ibadah, ahli zuhud, para mujahid, para penyeru kebenaran, orang-orang yang sabar, dan orang-orang yang pandai bersyukur. Juga membicarakan sirah mereka bersama dengan beberapa ikhwan, merenungi catatan sejarah, mengupayakan peningkatan intensitas ibadah daripada yang sudah-sudah, melaksanakan ‘umrah di bulan Ramadlan bagi yang mampu, menyendiri selama beberapa saat setiap hari untuk merenung, dan memperbanyak bacaan al-Qur`an, doa, qiyamullail, serta sedekah.
Berikut ini adalah sedikit pendetailan dari beberapa wasilah tersebut.
1. Membaca sirah as-salafus shalih
Membaca perjalanan hidup orang-orang yang zuhud akan mentarbiyah hati supaya zuhud. Membaca perjalanan hidup para mujahid dan para syuhada` akan menjadikan hati tergantung pada langit, seakan-akan hidup bersama mereka, terilhami oleh mereka, dan berandai-andai menjadi salah seorang dari mereka. Bahkan dengan membacanya seseorang dapat merasakan bahwa dirinya tengah berbaris bersama mereka dan seakan-akan senantiasa berperang dan berkeliling di medan peperangan...
Betapa perjalanan hidup Khalid bin Walid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Jarah, ‘Ikrimah, Miqdad, dan Mutsanna bin Haritsah, betapa perjalanan hidup mereka telah menghidupkan sekian hati yang mengenal mereka. Betapa itu telah mengobarkan semangat sekian kaum untuk menggapai syahadah di jalan Allah. Betapa juga telah menggelorakan jiwa untuk mencurahkan segala potensi yang ada, menyirami pohon Islam nan agung ini dengan darah para syuhada`.
Karena itulah dahulu para sahabat mengajarkan perang-perang Rasulullah saw kepada anak-anak mereka sebagaimana mereka mengajarkan satu ayat dari al-Qur`an.
Sebenarnyalah, sirah seorang lelaki ~hanya seorang~ seperti Khalid bin Walid akan mampu menghidupkan hati seluruh ummat, membangkitkan himmahnya, dan menguatkan ‘azamnya. Karena itulah sebagian lembaga sekuler menyarankan untuk tidak mengajarkan kitab ‘Abqariyatu Khaalid’ (Kejeniusan Khalid) yang sudah sekian lama menjadi kurikulum tetap di sekolah-sekolah menengah. Menurut mereka kitab ini membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi para pelajar seusia mereka. Padahal sebenarnya buku ini jauh dari ‘memadai’ bagi siapa pun yang ingin mengkaji sirah Khalid bin Walid secara komprehensif. Itupun telah membawa pengaruh yang dahsyat ~Wazi'uddien nyaris mati karenanya~ bagi ummat.
Sirah Khalid bin Walid dan orang-orang yang semisal dengannya menjadikan seorang muslim memandang rendah terhadap dunia, daya tariknya, dan kelezatannya yang fana. Ia akan menjadikan seorang muslim mencintai kematian. Ia akan menjadikannya melangkah di alam buana sementara semangatnya melambung ke angkasa. Ia juga akan memandang kerdil terhadap dirinya sendiri yang senantiasa memikirkan dan selalu tergantung kepada materi dan kenikmatan sesaat. Betapa sirah manusia seperti mereka telah mengikis faktor-faktor kegentaran dan sebab-sebab ketakutan serta tipu daya setan dari dalam hati. Alangkah banyak hati yang telah diantarkannya ke ‘istana’ tawakkal yang benar kepada Allah.
Membaca sirah ahli zuhud dan orang-orang shalih akan menumbuhkan ‘pohon’ zuhud terhadap dunia di dalam hati. Terus membacanya berarti menyirami pohon itu hingga akhirnya akan tumbuh besar dan menghasilkan buah setiap saat, dengan izin Rabb-nya.
Sirah ahli ibadah akan mendidik diri untuk mencintai shalat malam, shiyam sunnah, dzikir, doa, khusyu’, dan tangis.
Sebelum saya akhiri pembicaraan tentang masalah ini saya ingin mengingatkan adanya dua hal penting:
Pertama, hendaknya sirah yang dibaca bukan sirah mereka yang hidup sampai zaman tertentu, tetapi hendaklah dimulai dari zaman sahabat sampai zaman kita hidup ini.
Kedua, membaca sirah ini hanya akan berbuah seperti yang diharapkan manakala hati orang yang membacanya saat itu benar-benar kosong dari berbagai kesibukan dan halangan. Ia mesti hidup dengan perasaan, hati, dan seluruh bagian tubuhnya bersama sirah mereka yang semerbak itu. Orang yang membaca sirah ini mesti membebaskan diri dari berbagai halangan dan pautan yang menghalanginya dari menyelami lautan nikmatnya.
Jika misalnya untuk memberikan pelajaran yang disarikan dari perjalanan hidup mereka ~khususnya pelajaran keimanan~ disyaratkan yang membacanya haruslah seorang aktivis teladan, yang telah dikaruniai ilmu yang melimpah tentang Allah dan perintah-Nya, juga telah dikenal ketakwaan, keshalihan, dan perjuangannya di jalan Allah, ditambah lagi pemahamannya yang mendalam berkenaan dengan sirah dan tarikh Islam, jika kita dapat memenuhi semua syarat itu, sungguh kita telah melakukan kebaikan yang banyak. Namun pada kenyataannya, syarat-syarat ini tidak ada dalam diri kebanyakan aktivis. Sedikit sekali yang memenuhinya. Kendati jumlah mereka sedikit, peran mereka dalam meningkatkan keimanan sangatlah besar.
2. Khalwah
Salah satu sarana untuk memperbaharui keimanan, hendaknya seorang aktivis menyediakan waktu khusus di luar waktu qiyamullail, dzikir, dan tilawahnya, untuk menyendiri. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa seorang yang berakal itu membagi waktunya menjadi empat: salah satunya waktu yang ia isi untuk menyendiri, merenungi diri.
Bagi para aktivis Islam waktu untuk menyendiri ini sangatlah penting. Di saat itu ia dapat menyendiri bersama Rabbnya, Penolongnya, dan Khaliqnya, ia dapat semaksimal mungkin mendekatkan diri kepada-Nya, ia dapat sungguh-sungguh bersama Dzat yang paling dicintainya, dan di saat itu ia dapat merasakan manisnya bermunajat kepada-Nya.
Selain itu, dengan khalwah ini seorang aktivis bisa mengintrospeksi diri dan menghitung-hitung semua yang telah dikerjakannya tanpa ada gangguan dari orang yang memujinya. Di saat itu ia dapat mengintrospeksi diri sambil menghayati ‘ubudiyyahnya di hadapan Penolong dan Khaliq-nya. Di saat itu pula ia berkesempatan untuk mengingat dosa-dosa, kemaksiatan, keteledoran, dan kealpaan dirinya, khususnya kemaksiatan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang-orang yang selama ini memujinya, yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Di saat khalwah inilah ia bisa mencucurkan air mata penyesalan dan taubat nashuha, menangis karena takut, malu, cinta, dan khusyu’ kepada Allah yang Mahasuci. Semoga saja air mata yang mengalir itu adalah air mata kejujuran yang manfaatnya jauh lebih besar daripada amal yang selama ini dibanggakannya.
Sangat mungkin Anda akan menjumpai seorang aktivis yang telah bertahun-tahun beriltizam namun tak setetes pun air mata membasahi pipinya karena takut dan malu kepada Allah. Siapa saja yang keadaannya demikian, hendaknya ia mencatat bahwa faedah yang dibawanya dalam dien hampir-hampir tak bisa disebut. Siapa saja yang keadaannya demikian mestinya menyadari bahwa ia tidak termasuk ke dalam salah satu kategori manusia yang dikabarkan oleh Rasulullah saw akan mendapatkan naungan dari Allah di bawah ‘Arsy pada hari tiada naungan selain naungan-Nya. Beliau bersabda,
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dan laki-laki yang mengingat Allah dalam kesendiriannya lalu air matanya mengalir.”
Perhatikan kata ‘khaliyan’ yang berarti ‘dalam kesendirian’ pada hadits di atas. Benar, orang itu berada dalam sunyi, jauh dari sum’ah dan riya`. Ia ditemani oleh kemurnian dan keikhlasannya kepada Allah ‘azza wa jalla.
Pada saat khalwah ini ia dapat mengingat-ingat nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya, kepada saudara-saudaranya, dan kepada jamaahnya. Ia dapat pula merenungkan ikram dari Allah untuknya; yang terbesarnya adalah nikmat hidayah.
Di saat itu ia akan mengulang-ulang firman Allah
وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أَنْ هَدَانَا اللهُ
al-A’raf : 43
Ia juga dapat memikirkan bagaimana ummat merespons dan menjawab seruannya bukan karena kefasihannya, retorikanya, kekuatan logikanya, atau kemampuan hujjahnya, melainkan karena taufiq dari Allah, kemurahan-Nya, dan anugerah-Nya secara mutlak.
Demikian seterusnya, ia akan menghitung semua nikmat dalam khalwah itu. Lalu ia tidak lupa untuk mengingat bahwa Allah telah mencegah musuh darinya dan dari saudara-saudaranya. Jumlah mereka banyak dan kekuatan mereka besar. Ia juga mengingat bahwa Allah sajalah yang membalikkan tipu daya mereka berbalik kepada diri mereka sendiri, dan bukan karena jihad, perencanaan, persiapan, serangan, atau pengaturan yang dilakukan. Semuanya adalah anugerah dari Allah, fadllullah. Sekiranya bukan karena anugerah-Nya, semua yang dikerjakannya pasti akan mengakibatkan tindakan biadab musuh terhadapnya dan saudara-saudaranya serta menjadi faktor utama kehancurannya. Hanya Allah yang menyelamatkan (al-Anfal : 43). Ia juga memikirkan betapa semua nikmat ini mesti disyukurinya dengan sangat. Lalu, mana kesyukuran itu? Sudahkah ia bersyukur?!
Pada saat khalwah itu, ia dapat mengingat-ingat cobaan dan musibah yang menimpanya dan juga saudara-saudaranya, kalau-kalau faktor penyebabnya adalah dosa-dosanya, apalagi jika ia menduduki posisi qiyadah dan jajarannya. Kemudian hatinya terus mengumandangkan firman Allah
قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
Ali ‘Imran : 165
Dan selanjutnya ia bertekad untuk bertaubat dari dosa-dosa itu, menambal lubang, dan memperbaiki aib diri. Atau bertekad untuk yang semisal dengan itu, jika kemaksiatan dilakukan oleh saudaranya. “Turunnya bala` itu hanyalah karena dosa, dan baru diangkat karena taubat.” Demikian menurut penuturan sebagian salaf.
Dalam khalwah itu ia akan membiasakan diri untuk memperhatikan faktor-faktor turunnya bala` dengan seksama menurut kaca mata syariat, bukan kaca mata dunia ansich.
Masih banyak hal lain yang tidak bisa saya sebutkan dalam lembaran-lembaran ini. Namun saya yakin, keluasan pemahaman dan kemampuan akal Anda semua akan menuntun Anda dalam mengetahui semuanya, semua yang belum sempat saya sebutkan di sini.
3. Melakukan aktivitas penumbuh tawadlu’
Salah satu sarana untuk memperbaharui keimanan, pada waktu tertentu hendaknya seorang aktivis melakukan suatu aktivitas yang dapat mendidiknya untuk bersikap tawadlu’ dan menghilangkan faktor ‘ujub dari diri. Terlebih pada saat seorang aktivis merasa mulai dijangkiti penyakit ‘ujub ini atau diingatkan oleh salah seorang ustadz atau syekh bahwa ia mulai dijangkitinya. Tentu saja ini dengan catatan, aktivitas yang akan dilakukannya itu tidak melalaikannya dari tugas utamanya dalam dien. Di antara aktivitas itu misalnya: mengambilkan dan memakaikan alas kaki seorang buta yang pulang dari masjid lalu menuntunnya sampai ke rumahnya, ikut membersihkan, mengepel, dan menyapu masjid, terjun langsung membantu anak-anak yatim atau orang-orang sakit dengan memenuhi kebutuhan mereka, atau berangkat sendiri untuk berbelanja kebutuhan salah seorang anak aktivis yang tertangkap musuh.. ini baru sebagian contoh.. dan semua ini akan mendatangkan manfaat yang banyak. Lembaran-lembaran ini tak cukup untuk menyebutkannya.
‘Umar bin Khathab ~siapa yang tidak kenal dia~ pernah memanggul kantung air di atas punggungnya untuk memenuhi kebutuhan air di rumah sebagian kaum muslimin. Saat ditanya ia menjawab, “Aku tengah diliputi sikap ‘ujub dan karenanya aku ingin mendidik diriku sendiri.”
Ia juga mengobati onta yang kurapan.
Ia juga sering berlomba dengan Abu Bakar ash-Shiddiq untuk mengunjungi salah satu janda Rasulullah saw untuk memasak atau menyapu di sana, bahkan membuat adonan roti untuk mereka! Hanya saja, Abu Bakar selalu mendahuluinya.
Dalam masalah ini banyak sekali aktivitas yang bisa dilakukan. Namun, sekali lagi dengan syarat tidak melupakan dan melalaikan diri dari tugas utama dalam dien.
4. Ziarah Kubur
Salah satu sarana untuk memperbaharui keimanan, hendaknya seorang aktivis menyempatkan diri untuk berziarah kubur, duduk di sana beberapa saat guna bertadabbur, merenung, berdoa untuk dirinya sendiri dan juga untuk kaum muslimin yang telah mendahuluinya, menghayati kematian dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi setelahnya atau merenungkan seandainya ia bertukar tempat dengan penghuni kubur yang ada di depannya, bagaimana kira-kira hisabnya, dengan jawaban apa ia akan menjawab pertanyaan dari Rabbnya, dan apakah ia akan selamat atau justru celaka?!
Selanjutnya ia bisa merenungi bahwa di antara sekian orang yang sudah meninggal itu ada yang kuat, yang lemah, yang zhalim, yang mazhlum, yang kaya, yang fakir, yang berkuasa, yang papa, yang muda, yang tua, yang shalih, dan yang durjana.. semuanya kini berada di tempat yang sama, di bawah tanah dan telah meninggalkan dunia beserta perhiasannya, mau tidak mau. Mereka telah meninggalkan orang-orang kecintaan dan para sahabat. Yang menemaninya saat itu tinggallah amal mereka; barang siapa shalih amalnya, kuburnya adalah taman dari sekian taman surga, dan barang siapa tidak demikian maka kuburnya adalah jurang dari sekian jurang neraka. Semoga Allah melindungi kita dari yang terakhir ini.
Dalam ziarah kubur seorang ikhwan akan dapat memikirkan dosa-dosanya dan kekurangseriusannya dalam beramal. Ia dapat memusatkan seluruh pikirannya dalam masalah itu, kemudian berazam (berjanji kepada Rabb-nya) dengan sebenar-benarnya untuk bertobat dan bersungguh-sungguh beramal dalam rangka menegakkan Islam.
Menakjubkan! Anda dapat menemui sebagian ikhwah yang aktif dalam amal islami selama bertahun-tahun, namun sekali pun ia belum pernah berziarah kubur. Bahkan ada yang sudah ditinggal mati oleh salah satu atau kedua orang tuanya, namun sekali pun belum pernah ia menziarahi kubur keduanya. Ini jelas merupakan tanda kekurangseriusan di dalam memenuhi kewajiban dan bukti tiadanya bakti kepada kedua orang tua.
Rasulullah saw telah menganjurkan ziarah kubur. Beliau bersabda,
زُوْرُوا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ
Berziarah kuburlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur itu akan mengingatkan kalian akan akhirat.
Seorang wanita pernah mendatangi Aisyah ra mengadukan kekerasan hatinya. Aisyah menasehatinya supaya ia memperbanyak dzikrul-maut dari waktu ke waktu. Wanita itu mengerjakannya sehingga sirnalah kekerasan hatinya. Dan wanita itu pun kembali menemui Aisyah untuk berterima kasih atas nasehatnya.
Ada seorang ulama mujahid yang setiap habis Shubuh selalu menemani ikhwan yang berziarah kubur. Biasanya di sana beliau menasehati mereka dengan nasehat yang membekas. Dalam salah satu nasehatnya, pernah ia berkata, “Jika saja Allah tidak memberikan rizki syahadah kepada kita, niscaya kita akan disiksa dengan adzab yang pedih. Dosa-dosa kita sangatlah banyak, sedangkan amal kita terlalu sedikit.” Lalu beliau menangis dan menangislah semua yang hadir.
Sejak sepuluh tahun terakhir, para da’i, mahasiswa, dan mushlihun di Universitas Asyuth selalu mengagendakan rihlah ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu. Peserta rihlah ini biasanya lebih dari 30 orang, mereka berkumpul ba’da Shubuh hari Jum’at. Kami pergi ke pekuburan, lalu salah seorang dari kami berbicara, memberi mau’izhah yang berisi dan ringkas kepada hadirin tentang kematian, hari kiamat, dan taubat. Setelah itu setiap ikhwan pergi dan duduk di dekat salah satu makam, lalu berpikir dan bertadabbur tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya, dengan khusyu’ masing-masing berdoa dan bertaubat. Demikian keadaan masing-masing ikhwan sampai sekitar satu jam. Lalau mereka kembali berkumpul dalam dian, tanpa kata, tiada canda.
Ternyata rihlah ini memberikan pengaruh yang sangat baik bagi para ikhwan. Rihlah ini mengingatkan mereka akan akherat, mendorong mereka untuk bertaubat dan berinabah, serta mentarbiyah diri untuk zuhud terhadap dunia dan mengutamakan akherat. Rihlah ini memperbaharui iman mereka, sebenar-benarnya.
5. Mengunjungi orang-orang shalih
Salah satu faktor pembaharu iman yang memiliki pengaruh besar dalam hal ini adalah mengunjungi orang-orang shalih, para mujahid, dan orang-orang yang sudah lebih dulu aktiv dalam amal islami. Jika perjumpaan dengan mereka saja bisa menjadi bekal di jalan iman, lalu bagaimana dengan bermajlis bersama mereka, bersahabat dengan mereka, mendengarkan mereka, belajar dari mereka, membaca sirah mereka yang harum semerbak, dan sirah kawan-kawan mereka, para mujahid dan orang-orang shalih?! Bagaimana pula dengan kezuhudan mereka, kecintaan mereka kepada akherat, kecintaan mereka kepada kematian di jalan Allah, dan pengorbanan mereka untuk dakwah, amar makruf dan jihad?!
Kunjungan seperti ini ibaratnya menjadi charge bagi baterei iman seorang aktivis yang hampir habis. ‘Umar bin Khathab pernah berkata, “Jika bukan karena tiga perkara aku tidak senang menetap di dunia ini; ~kemudian beliau menyebutkan salah satu dari ketiganya~ berkumpul dengan kaum yang memilih kalimat yang baik seperti kalian memilih korma yang baik.”
Kiranya perumpamaan terbaik untuk itu adalah kepergian Musa untuk menemui Khidlir dan belajar darinya, kendati Musa memiliki kedudukan yang begitu tinggi, kendati ia lebih afdlal daripada Khidlir. Musa telah berkata, “Al-Kahf : 66”
Ada juga murid-murid Mu’adz bin Jabal, orang-orang yang sangat mencintainya, yang selalu berada di sekelilingnya, belajar darinya, mereka menangis sedih mengkhawatirkan perpisahan dengannya ketika Mu’adz sakit keras menjelang kematian. Yang demikian ini karena mereka merasa akan kehilangan sebuah majlis imani yang agung. Majlis di mana Mu’adz bin Jabal memperbaharui iman mereka, mengajarkan hikmah, mengajarkan ilmu tentang Allah dan mengajarkan ilmu tentang perintah-Nya kepada mereka. Yazid bin ‘Umairah mengisahkan, “Ketika Mu’adz bin Jabal menderita sakit keras menjelang ajal, hal mana terkadang ia pingsan dan terkadang tersadar, sampai suatu saat ia pingsan cukup lama dan kami pun mengira saat kematiannya telah tiba, aku menangis di hadapannya tatkala tiba-tiba ia tersadar. Ia bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku pun menjawab, “Demi Allah, aku tidak menangis karena dunia yang aku dapatkan darimu. Pun bukan karena kedudukanku di hadapanmu. Tetapi aku menangis karena akan hilangnya ilmu dan hikmah yang aku dengar darimu.” Mu’adz berkata lagi, “Jangan menangis! Sesungguhnya ilmu dan iman itu pada tempatnya; barangsiapa mencarinya niscaya akan mendapatkannya. Carilah ia sebagaimana Ibrahim mencarinya! Sesungguhnya ia telah memintanya kepada Allah, tanpa disadarinya.” Kemudian Mu’adz membaca ayat
إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
Sesungguhnya aku pergi kepada Rabbku yang akan memberi petunjuk kepadaku”
Mungkin juga para aktivis menziarahi orang tua dari para syuhada`, kerabat mereka, dan sahabat karib mereka untuk mendengarkan kisah hidup mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan Rabb mereka, manusia dan keluarga mereka.
Abu Bakar ash-Shiddiq dan ‘Umar bin Khathab pernah mengunjungi Ummu Aiman, sang pengasuh Rasulullah, sebagaimana beliau pun pernah mengunjunginya untuk mengingat hari-hari bersama Rasul. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, katanya, “Abu Bakar ~setelah Rasulullah wafat~ berkata kepada ‘Umar, ‘Mari kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Rasul pernah mengunjunginya.’ Sesampainya di sana Ummu Aiman menangis. Lalu keduanya bertanya, ‘Apa yang membuat Anda menangis? Sesungguhnya yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?’ Ummu Aiman menjawab, ‘Saya menangis bukan karena tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya, tetapi saya menangis karena wahyu dari langit telah terputus.’ Abu Bakar dan ‘Umar tersentak oleh ucapan Ummu Aiman dan mereka pun menangis bersama-sama.”
6. Mengingat ayyamullah
Salah satu faktor pendorong untuk memperbaharui iman adalah mengingat ayyamullah, hari-hari Allah. Allah telah memerintahkan Musa as supaya mengingatkan Bani Israil tentang ayyamullah ini hal mana seakan-akan ini merupakan bagian yang sangat penting dari tugasnya. Allah berfirman
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللهِ
Ibrahim : 5
Maknanya, “Ingatkanlah Bani Israil tantang hari ketika Allah menyelamatkan mereka dan menenggelamkan Fir’aun bersama pengikutnya! Ingatkanlah mereka tentang hari ketika Allah memenangkan wali-wali-Nya, memuliakan tentara-Nya, dan membinasakan orang-orang kafir! Ingatkanlah mereka tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang tampak jelas pada hari itu, pada hari Allah memakaikan kemenangan dan kekuasaan atas bumi kepada wali-wali-Nya.”
Shiyam hari ‘Asyura disunnahkan dalam Islam merupakan salah satu sarana untuk mengingat hari yang agung itu, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan orang-orang yang beriman bersamanya, hari ketika Allah menenggelamkan Fir’aun dan orang-orang kafir yang bersamanya.
Sungguh, hari itu benar-benar ayyamullah. Karenanya setiap setahun sekali kita melaksanakan shiyam sebagai ungkapan syukur kepada Allah ‘azza wa jalla atas kemenangan besar itu.. Dan pada hari itu, semestinya kita memperbanyak doa kepada Allah untuk kebinasaan Fir’aun masa kini dan antek-anteknya sebagaimana Allah telah membinasakan Fir’aun masa Musa dan balatentaranya. Juga untuk kebinasaan Haman masa kini dan konco-konconya sebagaimana Allah telah membinasakan Haman dan pengikutnya, tenggelam di laut Merah bersama tuan besar mereka, Fir’aun.
Pada hari seperti hari itu pula seharusnya kita memperbanyak doa supaya Allah menolong kita dan menyelamatkan kita dari cengkeraman tangan Fir’aun masa kini, dan supaya menguasakan kita di muka bumi sebagaimana Allah telah menguasakan Musa dan orang-orang yang beriman bersamanya.
Seorang aktivis hendaknya mengingat ayyamullah pada waktu-waktu tertentu dan menghayati ‘ibrah, pelajaran, dan daras keimanan yang agung…
Seorang aktivis hendaknya mengingat-ingat hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan, hari Khaibar, hari penaklukan kota Mekah, hari Bani Qainuqa’, hari Bani Nadlir, hari Bani Quraizhah, hari Yamamah, hari Yarmuk, hari Qadisiyah, hari Nahawand, hari penaklukan Maroko, hari penaklukan Andalusia (Spanyol) dan wilayah utara Rusia, hari Hiththin, hari ‘Ain Jalut, hari Konstantinopel, hari Zilaqah, dan hari Araak. Ia juga tidak boleh melupakan hari ketika Allah menyelamatkan Nuh as dan orang-orang yang beriman bersamanya. Juga hari diselamatkannya Hud, Shalih, Luth, Syu’aib, beserta orang-orang yang beriman bersama mereka dan ditimpakannya adzab dan siksa kepada orang-orang kafir dan kaum pembangkang.
Aktivis hendaknya juga mengingat hari saat Ibrahim as diselamatkan oleh Allah dari api dan Dia menjadikannya terasa dingin-sejuk baginya. Juga hari saat Allah mengganti Ismail dengan binatang sembelihan yang gemuk.. Semua hari ini adalah hari-hari Allah yang berhak dan harus ditadabburi dan ditafakkuri. Berjilid-jilid buku tidak cukup untuk memuat pelajaran keimanan yang ada di sana.
Dengan merenungkan ayyamullah ini Allah akan meluapi hati orang yang merenunginya dengan unsur-unsur keimanan; yaqin, tawakkal, inabah, khusyu’, khudlu’, istislam, mahabbah, dan ikhlash kepada Allah ‘azza wa jalla.
Para aktivis hendaknya tidak membatasi hal mengingat ayyamullah ini pada semua yang telah kami sebutkan di muka, yang disebutkan oleh Allah di dalam al-Qur`an, serta yang termuat di dalam kitab-kitab hadits, sirah, dan tarikh saja. Hendaknya mereka juga mengingat ayyamullah yang baru saja terjadi. Jangan melupakannya. Sebab bisa saja ayyamullah yang baru saja terjadi ini lebih mendatangkan manfaat dan lebih menggugah…Misalnya saja, hari-hari saat Allah menghinakan Syamsu Badran, Shalah Nashr, Sya’rawi Jum’ah, dan ‘Ali Shabri. Mereka telah menuai kehinaan ~sebagian di tangan ‘Abdunnnasser, sebagian lagi di tangan Anwar Sadat~. Mereka yang telah menyiksa kaum muslimin dengan sangat kejam dan keji, khususnya di dalam penjara perang.
Termasuk ayyamullah juga, saat Fir’aun masa ini tewas di tangan sang pahlawan, Khalid dan sejawatnya.
Termasuk juga, saat hancurnya Komunisme. Bukan hanya di Eropa Timur, tetapi di seluruh dunia, termasuk di dalamnya Uni Soviet. Berhala yang disembah hampir separo penduduk bumi itu ~mereka bukan hanya menyembah berhala Komunisme ini, namun juga menolak semua agama dan eksistensi Allah~ telah runtuh, hancur lebur. Kehancuran berhala Komunisme dan Marxisme ini merupakan bukti kekuasaan Allah terbesar di masa ini. Hari kehancuran itu tergolong ayyamullah yang paling agung di masa ini.
Labih menakjubkan lagi, keruntuhan itu benar-benar tuntas hanya dalam waktu tiga bulan untuk wilayah Eropa Timur.
Mari kita merenung sejenak, berapa lama umur Komunisme ini, paham yang dibangun di atas kebengisan, penjara, penyiksaan, pengusiran, besi, dan api… dan telah membantai lebih dari 20 juta kaum muslimin?! Tak lebih dari 70 tahun!!
Saudaraku, coba bandingkan umur Komunisme dengan umur Islam yang dimusuhi oleh dunia dan tidak ada satu negeri pun yang mau membelanya! Bandingkan dengan umur Islam yang para pemeluknya menanggung berbagai macam siksaan di seluruh penjuru dunia!.. Meski telah berjalan selama lebih dari 14 abad, Islam tetap segar dan berdenyut.
Pikirkanlah wahai saudaraku, bagaimana berhala Komunisme menemui kehancurannya hanya karena kurang beresnya ~bukan tidak ada~ pemerintahan sebuah negara selama beberapa hari!!
Sedangkan Islam, meskipun dunia bersepakat untuk memeranginya.. dari hari ke hari ia bertambah kuat dan bertambah banyak pula pembela dan rijalnya… sebab ia adalah fitrah Allah yang setiap manusia diciptakan di atas fitrah itu. (ar-Rum : 30)
Saya memohon kepada Allah ‘azza wa jalla semoga Allah membersihkan bumi dari para penyembah salib, Yahudi, orang-orang Sekuler, dan semua orang kafir-musyrik. Semoga Allah menyucikannya dari semua berhala itu dan lalu menebarkan sinar kebenaran dan cahaya Islam.
Bagi Allah, itu semua tidaklah sulit!




Penulis buku ini adalah salah seorang anggota majlis syura sebuah harakah Islam di Mesir. Beliau menegaskan bahwa musuh utama rijal harakah Islam ada empat :
nafsu, setan, dunia, dan hawa.
Beliau berharap risalah ini dapat membantu rijal harakah Islam di bumi mana pun, supaya mereka dapat mengalahkan musuh utama mereka.
Di saat senggang atau saat Anda sedang sendiri, kandungan risalah ini layak Anda renungkan.
Wallahul muwaffiq.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Assalamu'alaikum.... selamat datang semua di bloggku , semoga bermanfaat...! jangan malu kalau kau mau..., asal itu kebaikan ambil aja lagiiii....

Pengikut